SLEMAN – Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar SH LLM menyebutkan terjadi penurunan indeks persepsi korupsi dalam 2 tahun terakhir sejak revisi UU KPK.
Selain itu, penegakan korupsi cenderung terus menurun. Akbar mencontohkan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara suap Djoko Tjandra.
Pinangki dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Sebelumnya, Pinangki divonis 10 tahun penjara.
Namun, pengadilan melakukan pemotongan masa hukuman.
“Ini menunjukkan putusan pengadilan belum menunjukkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan memberikan hukuman yang lebih berat,” kata Akbar seperti dikutip ugm.ac.id (10/8/2021).
BACA JUGA: 41 Persen Warga Kota Yogyakarta Telah Divaksin
Bila dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan, Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara.
Tetapi pada kasus suap Djoko Tjandara, Pinangki hanya divonis 4 tahun.
Selain menurunnya penegakan korupsi, juga terjadi penurunan penindakan kasus korupsi.
Misalnya, kasus korupsi Bansos Covid-19. KPK hanya mengajukan tuntutan 11 tahun pidana penjara.
“Padahal bisa dimaksimalkan 20 tahun,” ujar Akbar.
BACA JUGA: Kasus Positif COVID-19 di DIY Tambah Lagi
KPK juga mengajukan tuntutan penjara seumur hidup pada kasus Akil Mochtar. Kata Akbar, penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi kontraproduktif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Semestinya masalah diselesaikan secara internal. Tidak sampai ke ranah public, karena bisa mengakibatkan penurunan persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.
Namun, Akbar menilai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan baik.
Putusan MK mempermudah keleluasaan KPK melakukan penyidikan. Ke depan perlu sinergi antara KPK dengan aparat penegak hukum lain.
Lalu, memperbaiki integritas pemberantasan korupsi. Tidak hanya UU KPK yang diperbarui. Undang Undang Korupsi juga harus diperbarui.
Akbar mendorong masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan layanan public. Termasuk melakukan pelaporan bila melihat ada tindak korupsi. (aza/asa)