Tutup
Uncategorized

Eyang Kakung dan Mobil Putih | Cerpen oleh: Dandung Nurhono

142
×

Eyang Kakung dan Mobil Putih | Cerpen oleh: Dandung Nurhono

Sebarkan artikel ini

HARI masih gelap, udara dingin merasuk ke dalam tulang-tulang. Sebentar lagi berkumandang adzan subuh, ayam jantan berkokok sudah terdengar membangunkan orang-orang untuk segera bangun dan sembahyang.

Aku sudah selesai mandi. Ibu juga sudah bangun. Biasanya ibu sudah bangun sejak tengah malam, tidak pernah lupa selalu menengadahkan tangan memohon kepada Gusti Allah.

Advertisiment
Scroll ke bawah untuk berita selengkapnya

“Alan, kamu jadi berangkat ke rumah Eyang?” tanya Ibu kepada Alan, anak laki-lakinya.

“Sudah siap, Bu. Habis sembahyang subuh Alan berangkat biar tidak terjebak macet. Kalau lancar tiga jam juga sudah sampai,” jawab Alan.

Pasar tradisional sudah mulai tumpah ke jalanan, roda-roda kendaraan sudah kembali menutup aspal jalan, halaman parkir perkantoran juga sudah penuh, sepertinya orang-orang sudah mulai melupakan pandemi virus corona.

Anak-anak berseragam sekolah terlihat ceria kembali menggendong tas ranselnya menuju sekolahan. Satu-satunya rumah dengan pagar tanaman anak nakal tumbuh sepinggang berjajar rapih, itu rumah Eyang dengan pagar yang paling ramah lingkungan.

Halaman rumahnya cukup luas, tanpa pintu pagar, welcome bagi siapa saja yang ingin berkunjung. Di pinggir, berjajar pohon turi merah membuat rumah tampak asri. Di tengah halaman ada pohon jeruk Bali tidak terlalu besar, namun daunnya cukup membuat teduh tanah.

Jam tangan menunjukkan pukul sembilan kurang sedikit. Sesuai rencana, perjalananku memakan waktu kurang dari empat jam. Mobil kuparkir di bawah pohon turi. Beberapa meter dari tempat aku parkir, kulihat sosok lelaki berbadan sedang rambut putih marmer, lalu berjalan menuju kursi di dekatnya, duduk di teras sambil mengamatiku.

“Jalanan tidak macet ya?” tanyanya.

Aku masih dalam mobil. Suara itu aku hafal betul, tidak terlalu berat tidak pula terlalu halus, penuh wibawa. Suara Eyang Kakung, aku memanggilnya Yangkung. Kadang malah hanya memanggil Kung saja, demikian juga untuk Eyang Putri. aku memanggil Yangti, kadang Ti saja.

Aku turun dari mobil, menghampiri Yangkung yang sedang duduk di kursi kayu jati dengan anyaman rotan halus jaman dulu yang masih terawat rapih di teras, berkaos putih kerah biru lengan pendek, sangat kontras dengan kulitnya yang cenderung hitam. Wajahnya tampak bersih.

“Lancar Kung,” jawabku sambil bersalaman, dan kucium tangannya yang sudah keriput.

“Ibumu sudah memberi kabar, katanya kamu pingin ketemu saya.”

“Iya Kung, biasa Alan kangen sama Yangti, Yangkung juga. Yangti mana Kung?” tanyaku.

“Masih di dalam, lagi bikin minum.”

OOO

Aku sangat bersyukur masih bisa bertemu dengan kedua Eyangku itu. Tidak banyak anak seusiaku masih mempunyai kakek-nenek seperti aku. Badannya masih sehat, segar bugar diusianya yang sudah sepuh itu. Menurutku mereka itu merupakan pasangan yang sehat dan ideal dengan perannya masing-masing.

Yangkung mempunyai kebon kopi, hasilnya dikelola sendiri dan mempekerjakan delapan orang untuk merawat kebun, mengolahnya, hingga menjadi kopi bubuk. Sementara Yangti seperti orang jawa pada umumnya, hanya mengurus rumah tangga dan setia mendampingi Yangkung dengan suka dukanya.

Aku merasa dekat sekali dengan mereka berdua karena ibu sering menceritakannya. Apalagi setelah ayah dipanggil Yang Maha Kuasa, kami sering sekali berkomunikasi.

Pada awalnya sepeninggal ayah, Eyang berdua sering ke rumah ibu, maklum ibu anak tunggal. Setelah usianya semakin bertambah, fisiknya tidak kuat lagi menempuh perjalanan jauh, jadi gantian ibu dan aku yang sering mengunjungi beliau.

Memang tempat tinggal kami cukup berjauhan, setidaknya menempuh perjalanan kira-kira tiga empat jam. Kalau jalanan macet bisa sampai lima jam atau lebih, tapi itu sangat jarang.

“Lan, kamu sendirian? Kenapa tidak dengan ibumu?” tanya Yangti yang membawa baki, menyajikan teh dan putu mayang kesukaanku, kalau tiwul itu makanan kesukaan Yangkung.

Tumben kali ini Yangti sendiri yang menyajikan. Biasanya mbok Rah, pembantu Eyang yang menyuguhkan.

“Iya sendirian Yangti. Ibu tidak bisa meninggalkan tugasnya, karena anak-anak SD sudah mulai belajar tatap muka. Mbok Rah kemana Yangti?”

“Mbok Rah pulang, sejak awal-awal pandemi dia pulang kampung. Ini, dimakan putu mayangnya. Ini kesukaanmu lo Lan, tadi pagi Yangti sengaja beli di warung untuk kamu.”

“Terimakasih, Yangti masih inget aja jajanan kesukaan Alan.”

Aku lihat Yangkung sudah mulai menyeruput kopinya, kopi produksi sendiri, seratus persen original.

“Gimana kerjamu. Apa masih WFH?” tanya Yangkung.

“Masih Kung, rencananya baru tahun depan ngantor lagi.”

“Sudah berapa tahun sih kamu kerja Lan?”

“Belum lama sih Kung, lima tahunan.”

“Lima tahunan…? Sudah cukup itu Lan?” tanya Yangkung.

“Cukup apanya Kung?”

“Kamu sudah punya pacar?”

“Hehehe…” aku tertawa mendengar pertanyaan Yangkung.

Klasik banget. Jujur kalau ada yang menanyakan tentang pacar, aku juga bingung menjawabnya.

OOO

Entah kenapa di usiaku ini aku belum punya pacar. Perasaan aku juga sudah mencoba mencari tapi mungkin belum ada yang mau dengan aku. Padahal dari segi pendidikan aku sudah magister teknik. Dari pekerjaan, aku sebagai asisten manajer di perusahaan asing.

Agak lambat sih karirku, tapi aku tetap bersyukur, selama masa pandemi tidak sedikit teman-teman yang diberhentikan. Masalah gaji, aku kira sudah bisa ditaksir berapa gaji seorang asisten manajer di perusahaan asing yang cukup punya nama.

Aku kok jadi heran sendiri, dari segi usia sudah cukup matang. Berusaha mendekati juga sudah, tapi sampai saat ini belum ada gadis yang tertarik padaku. Tampang, aku kira ya lumayan. Aku pikir bukan karena tampang atau sudah kerja atau belum kerja, tapi karena memang belum ketemu jodohnya saja.

“Yangkung pingin kamu cepet nikah Lan. Keburu tua lho. Ibumu biar ada temen.”

“Ehmm…,” Yangkung hanya dehem-dehem.

Kembali aku tertawa, entah apa yang aku tertawakan.

“Belum ketemu jodoh Kung …” jawabku.

Kulihat Yangkung terkekeh-kekeh melihat aku celingukan.

“Ya sudah tidak apa-apa. Jangan memberatkan pikiranmu Lan, kalau laki-laki sih gampang nyari pasangan hidup. Cuma sekedar tanya kok,” ucap Yangkung.

Yangti tersenyum sambil mengusap punggungku.

“Rencanamu gimana ? Jadi mau beli mobil kan?”

“Iya, jadi Kung. Ibu nyuruh Alan kesini, disuruh minta saran dan do’anya, supaya ke depannya tetap baik dan berkah. Begitu kata ibu, Kung”

“Kan sudah ada mobil. Belum cukup mobil satu?”

“Itu kan punya ibu Kung. Saya butuh kendaraan sendiri buat kerja, biar tidak mengganggu kendaraan ibu.”

OOO

Menurut cerita ibu, Yangkung itu sosok yang luar biasa, temannya banyak, enak diajak ngobrol apa saja dan luwes bergaul dengan semua kalangan. Topik obrolan bermacam-macam tentang agama, bisnis, politik, filsafat. Tapi paling semangat kalau topiknya tentang kopi.

Banyak yang datang ke rumah Eyang hanya sekedar ngobrol yang ringan-ringan sambil ngopi, atau kadang ngobrol yang lebih serius, sehingga di rumah Yangkung tidak pernah sepi. Ada saja tamu yang datang.

Entah bagaimana ceritanya, kata ibu, kemudian banyak orang yang datang ke rumah yangkung, bukan hanya teman-teman dekatnya saja, kadang ada tamu yang datang dari luar kota. Disebabkan banyak tamu itulah pagar rumah Yangkung tidak diberi pintu, biar kalau ada tamu bisa langsung masuk ke halaman. Tidak perlu repot buka tutup pintu pagar.

“Jaman sekarang ini, mobil sudah jadi kebutuhan, bukan lagi untuk gaya- gayaan,” kata Yangkung

“Iya Kung, betul. Itulah salah satu alasan Alan mau beli mobil,” sambungku.

“Dulu seusia kamu, Yangkung pernah beli mobil untuk gaya-gayaan. Jangan ditiru ya.”

Bergayanya anak jaman Yangkung remaja dulu gimana ya? tanyaku dalam hati.

Apalagi bergaya dengan mobil. Jalan beraspal saja mungkin belum sebagus sekarang, atau bahkan mungkin belum beraspal? Tempat nongkrong-nongkrong anak mudanya dimana ? Apakah sudah ada café ? Pertanyaan itu banyak bermunculan di benakku. Tapi sudahlah aku abaikan saja. Susah dibayangkan, karena sudah beda generasi.

“Tapi itu hanya sebentar Lan, mobilnya Yangkung jual…”

“Loh, kenapa dijual Kung ?

“Tidak lama setelah punya mobil Yangkung menikah dengan Yangti.”

Mata Yangkung berbinar sambil memandang Yangti. Yangti tersenyum, juga sambil melirik yangkung… so sweet. Kedua orang-orang sepuh ini memang selalu terlihat mesra.

“Mobil itu dijual. Pada waktu itu Yangkung belum punya pekerjaan, juga belum punya usaha untuk memberi nafkah keluarga. Ketika menikah dengan Yangti, cuma gayanya saja punya mobil, padahal nganggur.” Yangkung kembali terkekeh.

“Uang hasil jual mobil untuk beli kebun kopi. Sejak saat itu Yangkung mulai bertani dan bisnis kopi. Yangtimu itu orang hebat, tetap setia mendampingi Yangkung ikut sengsara. Ketika blusukan ke kebun kopi pun ikut,” tambah Yangkung.

“Sampai sekarang Yangti itu orang yang hebat ya Kung,” timpalku singkat.

Yangkung mengacungkan jempolnya.

“Jadi kamu beli mobil memang karena butuh kan?”

“Iya Kung.”

“Bagus, jangan seperti Yangkung dulu, punya mobil hanya untuk gaya-gayaan, padahal sumber penghasilan untuk menafkahi keluarga belum punya,” kata Yangkung.

“Iya Kung. Sebaiknya mobil yang gimana ya.”

“Mobil yang sesuai dengan budget kamu. Merek apa saja asal sesuai dengan budget. Bukankah mobil sekarang sudah canggih-canggih, cc besar tapi irit bahan bakar.”

Benar apa yang dikatakan Yangkung harus disesuaikan budget. Rupanya Yangkung juga mengikuti perkembangan industri mobil, sekarang banyak mobil baru yang menggunakan teknologi yang canggih-canggih.

Memang kalau mengikuti teknologinya bakal banyak pilihan: ada autonomous drive yang membuat mobil bisa bergerak sendiri tanpa dikemudikan oleh manusia, ada pre-collision sistem yang dalam beberapa detik akan terjadi tabrakan, dapat segera melindungi penumpang.

Ada automatic safety braking system sistem pengereman yang bekerja secara otomatis jika ada hambatan yang tidak disadari oleh pengemudi, banyak sekali mobil berteknologi terbaru yang ditawarkan. Lagi-lagi benar kata Yangkung, harus sesuai budget. Aku sangat setuju saran Yangkung.

“Oh ya…satu lagi, jangan yang warna putih!” tegas Yangkung.

“Haa…jangan warna putih Kung?”

“Iya, jangan warna putih.”

Untuk saran yang terakhir ini aku merasa agak janggal karena bukannya pilihan warna itu bebas sesuai selera pembeli ? Ada-ada saja saran Yangkung.

Di sepanjang perjalanan pulang sambil mengemudi, aku masih mengingat-ingat pesan Yangkung tentang mobil warna putih. Ada apa dengan warna putih. Setiap berpapasan dengan mobil warna putih, demikian juga ketika aku istirahat di rest area, mobil warna putih yang sedang diparkir aku perhatikan dengan deti. Kekurangannya apa ? Aneh.

Sepertinya ada isyarat khusus dari Yangkung untuk aku. Di rest area itu aku coba mendekati mobil putih di sebelahku berdiri. Aku lihat-lihat dengan teliti, sama saja dengan mobil-mobil yang lain.

“Ada yang sedang dicari pak ?” tiba-tiba ada suara di belakangku membuyarkan kepenasarananku.

“Iya pak. Ada…” aku menjulurkan tangan, bersalaman.

“Bapak pemilik mobil ini? Sudah berapa lama bapak memiliki mobil ini?

“Sudah cukup lama, kira-kira delapan tahun.”

“Oh bagus perawatannya. Warnanya masih mengkilat dan tidak ada lecet-lecet.”

“Perawatan yang biasa saja pak, hanya saya cuci tiap pagi.”

“Dicuci tiap pagi pak?”

“Iya, karena debunya selalu tebal. Saya simpan di jalan depan rumah. Hahaha.”

OOO

Di rest area ini banyak mobil warna putih yang parkir. Ada yang bersih mengkilap, ada yang sudah pudar, ada juga yang tertutup debu tebal. Aku pikir itu hal yang sangat biasa, tidak ada yang janggal.

Dari kejauhan terdengar suara sirine ambulan, semakin terdengar keras, mendekat, mendekat, mendekat, dan…wuush, mobil warna putih. Ambulan itu melintas di jalan raya dengan cepat.

Aku tersentak kaget. Jantungku berdegup kencang. Ibu, seketika aku ingat ibu di rumah. Segera aku masuk ke mobil, aku tinggalkan pemilik mobil putih tadi, dan bergegas pulang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan ibu. Aku tinggalkan rest area dengan gamang.

Aku masih mengamati semua mobil warna putih, banyak yang parkir di jalan, hanya satu dua mobil warna lain ada di antara mobil-mobil putih itu. Jarak ke rumah semakin dekat, mataku tetap memperhatikan setiap mobil berwarna putih.

Tepat ketika masuk ke tikungan jalan menuju rumah, tampak pemandangan semakin banyak mobil warna putih diparkir di kiri kanan jalan. Rasa penasaran semakin bergelayutan dipikiranku. Ada apa dengan mobil putih ?

Tiba di rumah, mobil langsung masuk garasi. Di halaman rumah yang tidak begitu luas, Ibu sedang menyapu dan membereskan pot-pot bunga, rupanya sekarang hari  libur. Ya Allah, Engkau masih memberi nikmat sehat untuk ibuku.

Keluar garasi, langsung aku peluk ibu dengan erat, tangannya aku cium berkali-kali. Ibu memandangiku keheranan.

“Ada apa ini, pulang-pulang kaya anak bayi begini ? Tangan ibu masih kotor lo. Eyang baik-baik saja kan,” kata ibu keheranan dengan sikapku.

Aku mengangguk. Kupandangi ibu, semoga Yang Maha Kuasa memberimu umur yang panjang dan barokah.

“Sehat semua bu. Eyang menanyakan Ibu juga.”

“Cepet mandi, ganti pakaian dulu. Apa kamu tidak capai?”

“Pesan Yangkung yang sesuai budget Bu, dan satu lagi jangan yang warna putih.”

“Setuju, yang sesuai budget,” kata ibu sembari senyum-senyum. Ibuku memang cantik, tidak hanya parasnya juga hatinya.

“Kenapa tidak boleh warna putih, padahal kamu mau beli yang warna putih ya,” lanjutnya.

“Tidak harus sih bu. Aku ikut saran Yangkung aja. Jangan yang warna putih”.

Sekarang ada warna mobil yang lagi populer bu katanya ikon tahun sekarang.

Beberapa merek mobil mengeluarkan warna oranye.”

“Oranye ? Ya masih jarang mobil warna oranye. Kalau ibu sebetulnya suka warna putih, meskipun di jalan sudah sangat banyak.”

“Iya tapi kata Yangkung jangan. Kan kata ibu harus nurut sama sarannya Yangkung.”

“Betul, ikuti saja saran Eyang.”

“Seorang temen yang psikolog, katanya setiap warna memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang. Bisa mempengaruhi pikiran, suasana hati, juga ketenangan dalam mengambil keputusan.” Ibu terlihat serius memperhatikan.

“Warna oranye misalnya, katanya menggambarkan kegembiraan dan kreativitas. Bisa juga menularkan energi positif ke lingkungan sekitar sehingga seseorang yang sedang kecewa atau bersedih bisa menjadi gembira hatinya ketika menangkap warna oranye,” kataku memberi gambaran.

Ibu sudah asyik dengan pot-pot bunganya lagi.

“Kalau warna putih apa maknanya? Coba tanya temenmu itu.” Sepertinya ibu hanya sekedar iseng bertanya.

“Mau nanya langsung aja ke Yangkung ya bu. Penasaran kenapa tidak boleh milih warna putih.”

OOO

Sore. Pekerjaanku belum selesai, nasib karyawan swasta hari libur juga harus kerja. Di sela-sela padatnya pekerjaanku, aku telepon Yangkung.

“Sekarang lihat di sepanjang jalan depan rumahmu,” kata Yangkung

“Jalanan jadi sempit Kung, karena banyak mobil diparkir di jalan,” kataku.

“Mayoritas yang diparkir di pinggir jalan mobil warna putih kan?” kata Eyang dengan yakinnya.

“Betul sekali, tahu dari mana Kung. Diteropong ya,” jawabku bercanda.

“Hahaha..,” Yangkung tertawa.

Lalu aku mencoba mengingat-ingat, memang iya, setiap hari yang terlihat berjajar di pinggir jalan depan rumah kebanyakan mobil warna putih. Ketika aku membuka pintu pagar pun, entah pagi, siang, atau malam, melongok ke jalan, langsung terlihat mobil putih milik tetangga depan rumah, diparkir di jalan.

Aku semakin bertanya-tanya kenapa mobil warna putih itu ?

“Alan kamu tahu dimanakah mobil-mobil yang tidak berwarna putih ?” tanya Eyang.

“Ya, barangkali berada di garasi mereka masing-masing Kung,” jawabku sekenanya. Aku belum mudeng arah pembicaraan Yangkung.

“Jadi Lan, sebelum kamu beli mobil sediakan dulu garasinya, baru beli mobil yang kamu butuhkan. Banyak orang beli mobil tapi tidak punya garasi. Itu namanya beli mobil untuk gaya-gayaan,” Yangkung mulai menjelaskan.

“Ingat, jalan umum bukan garasi. Jangan jadikan jalan umum sebagai garasimu.

Itu merampok hak jalan orang lain.”

“Kaitannya dengan mobil warna putih apa Kung”

“Yaa kan kamu tadi lihat sendiri di jalan depan rumahmu, banyak mobil warna putih nongkrong di pinggir jalan. Yangkung khawatir nanti mobilmu ikut-ikutan temen-temennya, pada tidur di jalan seenaknya sendiri. Kan itu menghalangi jalan orang.”

“Ooh itu to…Siap Kung. Paham. Laksanakan!” jawabku sambil tersenyum simpul, tidak menduga itu yang dimaksud jangan beli mobil warna putih.

Ah, ada-ada saja Yangkung. Aku jadi teringat kata pak Ustadz di masjid, setipis-tipisnya iman ialah menyingkirkan duri yang menghalangi jalan orang. Lantas, kalau dengan sengaja menghalangi jalan orang? (*)

 

OOO

Tentang Penulis

Dandung Nurhono:

Lahir di Magetan, 5 Maret 1961. Sehari-hari menjadi petani kopi, produksi kopi bubuk, menulis prosa dan puisi. Sekarang inggal di Bandung.

Semasa muda, tulisan fiksinya pernah dimuat di Horison, Nova, Suara Muhammadiyah, Suara karya, Suara Pembaruan. Buletin Jum’at Jawahirul ‘Ulum Bandung.

Email: dandung@gmail.com