DULU, Kinahrejo dan Bebeng menebar ketentraman. Tak hanya lautan hijau daun yang membuat suasana hati jadi teduh. Karamahan penduduk menjadi khas Kinahrejo masa lalu. Warganya santun dan sangat bersahaja. Warga selalu menyapa tamu-tamu yang bertemu di jalan atau melewati depan rumah.
Keramahan itulah yang membuat banyak anak-anak muda ketagihan selalu ingin menghabiskan malam di lereng Merapi bagian selatan ini. Hampir setiap malam minggu, tempat ini ramai dikunjungi.
Apalagi bila ada acara labuhan. Massa membludak. Pengunjung berdatangan dari berbagai daerah di DIY dan Jawa Tengah.
Ada dua jalur yang bisa ditempuh menuju Kinahrejo. Selain melewati Kaliurang, juga bisa lewat selatan dari arah Pakem menuju Cangkringan. Tapi, rute ini bagi yang menggunakan kendaraan.
Namun pada tahun 90an, jalan sepanjang kurang lebih 8 km menuju Kinahrejo masih berupa bebatuan.
Ini sangat merepotkan bagi pengguna sepeda motor. Selain jalan yang terus meninggi, jalan masih berupa bebatuan.
BERITA LAIN: Haedar Nashir Resmikan SM Tower and Convention Berau, Hotel ke-2 Setelah Yogyakarta
Ditata tidak teratur. Butuh kendaraan yang berstamina. Juga skill yang memadai. Karena tidak sedikit yang tergelincir dan jatuh. Apalagi bila musim hujan.
Biasanya, pengendara berhenti sejenak di Kalikuning. Di sini, terdapat jalan lurus yang pinggirnya berjajar pohon pinus.
Sementara yang tidak mengendarai sepeda motor, bisa menumpang angkutan kendaraan berupa colt station. Berangkat dari Pakem.
Berhenti di pertigaan Ngrangkah. Jika luruh ke arah Kinahrejo. Belok kiri ke arah Bebeng, Kaliadem. Lokasi ini sekaligus sebagai sub terminal bagi warga Kinahrejo dan sekitarnya yang ingin berdagang atau belanja di Pakem dan Kaliurang.
Setelah turun dari Ngrangkah, pengunjung berjalan kaki kurang lebih satu kilometer menuju Kinahrejo atau Bebeng.
Bagi yang ingin ke Bebeng, cukup jalan kaki dari Kinahrejo selama kurang lebih 15 menit. Menyusuri jalan yang pinggirnya berupa pasir dan rumput liar.
BERITA LAIN: Diskominfosan Kota Yogyakarta Buka Lowongan Kerja, Ini yang Dibutuhkan
Melewati padang rumput yang sering digunakan untuk mendirikan tenda. Sebelum sampai di Bebeng, terdapat “Batu Gajah” yang berada di pinggir jalan. Di utaranya terdapat pohon “Beringin Putih”. Di Bebeng, terdapat sederet warung. Semula, warung menghadap utara.
Namun, pasca penataan, warung dipindah di bawah. Berada di timur jalan. Posisi warung memanjang ke bawah. Juga terdapat sumber mata air yang dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari penduduk.
Bila malam Minggu atau hari libur, puluhan tenda didirikan di tempat ini. Suasannya begitu syahdu. Tenang. Sesekali terdengar suara gitar. Juga orang-orang tertawa gembira dari berbagai titik.
Dari tempat ini, tubuh Merapi terlihat jelas saat tidak berkabut. Bahkan, pengunjung biasa-biasa saja menyaksikan lahar panas meleleh dari Puncak Merapi ke arah Kali Boyong. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya erupsi Merapi tahun 1994 yang menewaskan puluhan orang.
Dari tempat ini juga, pendaki berjalan menghabiskan malam di Pos Srimanganti atau Pos Rudal. Ditempuh selama satu jam tiba di Pos Srimanganti. Butuh waktu 2 jam tiba di Pos Rudal.
BERITA LAIN: Zavira Jewelry, Tempat Bikin Cincin Kawin Berkualitas, JNE jadi Mitra Pengiriman
Di pos Srimanganti dan pos Rudal terdapat rumah kecil yang dibuat dari kayu. Biasa digunakan untuk bermalam. Atau menjadi tempat berteduh ketika turun hujan.
Kembali ke Kinahrejo. Di tempat ini terdapat sosok lelaki tua yang menjadi “penunggu” Gunung Merapi. Dia adalah Mbah Maridjan. Menjadi kebiasaan para pendaki dan pecinta alam.
Setiba di Kinahrejo, mereka sowan simbah terlebih dulu. Simbah biasanya berada di ruang tengah. Duduk di salah satu kursi. Di meja terdapat teh nasgitel dan sebungkus rokok Kansas.
Simbah kerap memberi wejangan kepada anak-anak muda yang datang ke Kinehrejo. Bahkan, saya menyebut Mbah Maridjan adalah guru kehidupan bagi siapa saja.
Berbagi pengalaman kehidupan di rumah. Kadang di warung Yu Panut. Sesekali di warung Bu Pur. Atau juga menemui anak-anak muda di warung Mbah Udi. Filosofi kehidupannya sangat menentramkan.
Dengan bahasa dan gesture khasnya, simbah adalah teman diskusi yang menyenangkan. Saya beruntung diberi “ilmu”, dan bisa “menyerap” sederet teladan kehidupan yang pernah diajarkan Mbah Maridjan dalam kurun waktu selama 20 tahun. (*)