YOGYAKARTA – Tempat kuliner ini sudah eksis selama 32 tahun. Soto Mbah Marmo, begitulah pelangganya sering menyebut.
Lokasi warung menempati rumah yang terletak di gang kampung, barat Hotel Grand Mercure Yogyakarta. Sebelumnya, Marmo menjajakan soto dengan gerobak.
Pada awal berjualan tahun 1989, ia mangkal di depan masjid di kampung Demangan. Tempat mangkal di belakang Hotel Sapir Jalan Urip Sumoharjo.
Lokasinya juga tak jauh dari kampus UIN Sunan Kalijaga (waktu itu masih bernama IAIN Sunan Kalijaga, red).
BACA JUGA: Semangat Berkolaborasi, Anak-Anak Harus Dilatih Saling Mengapresiasi I oleh: Ali Audah SPd MA
Nama Marmo diambil dari nama pemilik. Pria dengan khas memakai topi laken ini asli dari Kabupaten Gunungkidul.
Kali pertama berjualan, Marmo menjual soto ayam seharga Rp 200 per porsi. Setelah 32 tahun, Marmo menjual harga per prosi Rp 6.000.
Soto ayam ini ngehits bagi mahasiswa yang kampusnya berada di wilayah Demangan.
Soto bikinan Marmo juga sangat familiar bagi karyawan yang bekerja di bilangan Jalan Urip Sumoharjo.
Larisnya soto racikan Marmo bukan karena harga yang murah. Tapi, rasanya enak.
Sebagai pelengkap, Marmo juga menyuguhkan gorengan. Ada tempe, tahu, dan daging ayam yang digoreng hingga kering. Terasa renyah saaat dinikmati bersama soto yang panas.
“Saya menjadi pelanggan Mbah Marmo sejak tahun 1995,” kata Handayani yang waktu itu menjadi karyawan di Swalayan Rimo.
BACA JUGA: Mural Itu Ekspresi, Doktor UGM Ini Minta Pemerintah Tidak Alergi Kritik
Singkat cerita. Pelanggan Marmo dari tahun ke tahun terus bertambah. Tak berlebihan dikatakan, pelanggannya mencapai ribuan orang.
Kebanyakan mahasiswa dan karyawan. Sejak pandemi virus corona, Marmo sempat menutup warung.
Alasannya karena mematuhi peraturan pemerintah. Kini, Marmo kembali berjualan.
Para pelanggan kembali berdatangan. Marmo dan isterinya kembali lega bisa mengumpulkan tabungan. Hanya, Marmo meminta pembeli tetap menjaga protokol kesehatan. (nik/asa)