JAKARTA, ZonaJogja.Com – Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) langsung merepons rencana pemerintah melakukan restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) melalui jalur hukum di pengadilan atau in court.
Ketua Umum AKPI Jimmy Simanjuntak menilai, setiap debitor korporasi berhak memanfaatkan fasilitas in court agar bisa melakukan penyehatan keuangan perusahaan.
“Jika debitur ingin mencapai hasil cepat melakukan restrukturisasi utang, caranya memang harus ditempuh melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang,” kata Jimmy Simanjuntak dalam siaran pers kepada redaksi ZonaJogja.Com, mala mini (11/11/2021).
Jimmy berpendapat, fasilitas restrukturisasi utang melalui jalur in court tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Pasal itu menyebutkan upaya debitur merestrukturisasi utang melalui PKPU bertujuan mencapai kesepakatan.
BACA JUGA: Polis Terus Meningkat, Allianz Perkuat Literasi Asuransi
Lewat PKPU, debitur diberi kesempatan mengajukan proposal perdamaian sesuai skema restrukturisasi.
“Apalagi proses restrukturisasi utang lewat PKPU lebih efisien dan efektif dibandingkan penyelesaian melalui mekanisme di luar pengadilan,” kata Jimmy.
Melalui proses PKPU, para kreditur lokal maupun asing harus tunduk kepada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab, keputusan PKPU mengikat semua kreditur.
Bila proses restrukturisasi in court disertai niat dan itikad baik dari Garuda, proses PKPU akan berjalan mulus. Kata Jimmy, kesepakatan homologasi bergantung pada proposal perdamaian yang ditawarkan Garuda.
Dalam proposal perdamaian, selain meminta keringanan utang, Garuda bisa mengajukan permintaan konversi utang menjadi saham dengan periode selama 10 tahun.
Tentu, proposal perdamaian yang diajukan Garuda harus mempertimbangkan beberapa faktor.
BACA JUGA: 4 Faktor Penyebab Kecelakaan di Jalan Tol
Pertama, melihat kondisi ekuitas atau keuangan pihak debitur dari sisi pendapatan maupun beban operasional Garuda per bulan.
Kedua, melihat faktor keberadaan pihak investor. Apakah ada bantuan atau dukungan dari pemerintah atau swasta?
Ketiga, aset-aset debitur yang bisa dijadikan jaminan pembayaran utang kepada kreditur.
Jika ketiga faktor tersebut tidak bisa memenuhi keinginan kreditur, akan menjadi kendala bagi Garuda melakukan restrukturisasi utang melalui jalur PKPU.
Pihak kreditur bisa saja tidak mau disodorkan pembayaran cicilan utang Garuda
“Karena itu, dalam proses penyelesaian di PKPU, Garuda harus tetap memiliki fresh money. Tujuannya untuk memberi keyakinan penuh bahwa Garuda memiliki dana untuk membayar kewajiban tepat waktu, meski harus mengangsur,” terang Jimmy.
Dalam proses pembayaran utang, Garuda harus mendapatkan grace periode dari pihak kreditur. Garuda tidak ditagih dulu untuk membayar utang.
Setelah grace periode berakhir, Garuda mulai membayar cicilan utang kepada kreditur.
BACA JUGA: Sandiaga Uno Apresiasi Event Berbasis Kearifan Lokal
Jimmy optimistis, penyelesaian utang Garuda melalui jalur PKPU akan berakhir damai. Keyakinan Jimmy itu bercermin dari kasus serupa yang pernah dialami Duniatex Group, raksasa tekstil nasional asal Solo, Jawa Tengah.
Saat itu, Duniatex Grup memiliki utang Rp 22,36 triliun yang tersebar di 58 kreditur.
Pada Juni 2020, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang telah mengesahkan perjanjian perdamaian konglomerasi bisnis pertekstilan dengan para kreditur.
Para kreditur Duniatex memberi persetujuan atas rencana perdamaian Duniatex Group. Akhirnya, Duniatex bisa menjalankan usahanya, tanpa lagi dibayang-bayangi sanksi pailit.
“Hasil putusan PKPU akan bergantung niat baik pemerintah dalam menyelamatkan Garuda. Jika Garuda dianggap sebagai aset strategis negara, pemerintah harus serius menyelamatkan Garuda,” tegas Jimmy. (*/asa)