GARA-GARA hanya karena minyak goreng dan beras, jalinan asmara Nugroho dan Prantini menjadi berantakan. Padahal dua bulan lalu, keduanya baru saja melaksanakan lamaran.
Hanya tinggal menunggu pelaksanaan hari pernikahan yang telah disepakati kedua pihak keluarga. Yakni, tiga bulan lagi.
“Kalau soal begini saja, kamu nggak bisa menyelesaikan, ya sudah,” kata Prantini dengan nada kesal.
Ia berdiri dari tempat duduknya sambil menggantungkan tas di pundak. Ia bermaksud meninggalkan Nugroho.
“Mau ke mana?” tanya Nugroho sembari menarik lengan wanita yang akan dinikahi.
Prantini tak menggubris. Ia mengibaskan tangan Nugroho sembari berjalan keluar dari kantin yang sering menjadi tempat makan bersama. Namun, sebelum Prantini mengambil helm di motor, Nugroho buru-buru menyusul.
“Aku mau pulang,” ujar Prantini menatap wajah calon suaminya. Nadanya masih terdengar ketus.
Nugroho buru-buru menghidupkan mesin motor. Prantini lantas duduk di belakang pria yang sehari-harinya bekerja sebagai operator ojek online. Tak lama kemudian, keduanya sampai di rumah Prantini.
Seturun dari sepeda motor, Prantini langsung masuk rumah. Ia membisu. Sama sekali tak ada kata-kata untuk lelakinya. Nugroho hanya menghela nafas. Hanya bisa melihat Prantini berjalan masuk rumah.
Saat bersamaan, Sumirah, ibu Prantini, keluar dari rumah. Hanya berdiri di depan pintu sembari memandang Nugroho. Seperti Prantini, calon mertuanya juga tidak menyapa. Senyum pun tidak.
Nugroho terlihat gugup dan salah tingkah. Perasaannya serba salah. Ingin menyapa, tapi ragu melihat tatapan mata Sumirah yang tidak bersahabat. Yang dilakukan Nugroho hanya menyapa Sumirah dengan senyum seadanya.
Sesaat kemudian, Sumirah kembali masuk rumah. Menutup pintu agak keras. Nugroho lalu meninggalkan kediaman Prantini.
Semula, Nugroho ingin ngojek lagi. Maklum, akhir pekan banyak pengguna ojol. Tapi, gara-gara melihat sikap Prantini dan calon mertua, Nugroho memilih pulang di rumah kontrakan.
Rumah orang tua Nugroho dan orang tua Prantini berdekatan. Berjarak kurang lebih 100 meter. Lokasinya sama-sama berada di RW 14, namun beda RT.
Tetapi, Nugroho tidak tinggal di rumah orang tuanya. Sejak tiga bulan lalu tinggal di perumahan. Rumah kontrakan yang ditempati tipe 36. Terdiri satu kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi.
Tinggal di rumah kontrakan bagian perencanaan setelah menikah dengan Prantini. Juga karena rumah orantuanya terlalu sempit.
Orang tua Nugroho dan Prantini sama-sama dhuafa. Sama-sama menjadi warga miskin. Samsul, ayah Nugroho, sehari-harinya menjadi tukang parkir. Sementara Siti, ibunya, berjualan gorengan.
Hidupnya serba kekurangan. Apalagi sejak pandemi virus corona menyerang, pendapatan orang tuanya merosot.
Hidupnya kelimpungan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Termasuk membiayai sekolah Tanto, adik Nugroho, yang duduk di bangku kelas 2 SMK. Itulah sebabnya, Nugroho memilih kontrak rumah sendiri.
Mardi, ayah Prantini, bekerja sebagai tukang servis elektronika. Sumirah, isteri Mardi, menjadi pembantu rumah tangga. Prantini adalah anak semata wayang Mardi dan Sumirah. Ia bekerja sebagai karyawati toko pecah belah.
Cekcok Nugroho dan Prantini bermula ketika ada pembagian paket sembako. Sembako sumbangan dari Setiawan, politisi yang terpilih sebagai anggota dewan pada tahun 2019.
Setiawan meminta bantuan pengurus kampung membagikan sembako kepada penduduk miskin. Penerima bantuan mencapai puluhan orang. Sumirah dan tiga tetangg se-RT masuk dalam daftar penerima sembako.
Pada hari yang ditentukan pukul 10 pagi, Sumirah ditemani Prantini, mengambil sembako di balai rukun warga. Sembako berupa 1 liter minyak goreng, 1 kilogram telur ayam, dan 10 kilogram beras.
Setelah acara pembagian sembako berakhir beredar kabar tak mengenakkan. Sumirah diisukan membawa paket sembako yang seharusnya menjadi jatah Rusmini, tetangganya.
Adalah Tinah yang menyampaikan kabar itu kepada Sumirah. Ia mendengar saat membeli gula pasir di warung Bu Marni usai shalat Dhuhur di mushola. Di warung ini terlihat beberapa warga sedang berkumpul.
Bukan rahasia lagi warung Bu Marni dikenal sebagai tempat ibu-ibu ngerumpi. Warung ini menjadi sumber informasi tentang berbagai peristiwa di kampung. Topik kali ini soal Sumirah yang membawa sembako jatahnya Rusmini.
“Siapa yang menuduh?” tanya Sumirah lagi.
“Itu yang tidak aku ketahui. Aku hanya mendengar sekilas. Tapi, aku pastikan kabar itu benar, ” jawab Tinah.
“Aku memang orang tidak punya. Tapi, tidak akan pernah mengambil hak orang lain. Zolim,” kata Sumirah kepada Tinah, tetangganya.
Merasa dirugikan dengan kabar itu, Sumirah bergegas menuju warung Bu Marni. Ia ingin klarifikasi. Tinah sempat menahan. Tapi, Sumirah yang terlihat emosi itu tak menggubris.
Bahkan, Sumirah melarang Tinah mendampingi. Tak lama kemudian, Sumirah tiba di warung. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada Marni yang sedang asyik pegang handphone.
“Bade tumbas nopo, Bu Sum?” tanya Marni kaget.
“Mboten, Bu. Saya cuma mau tanya soal sembako. Pripun tho ceritane? Waktu ibu-ibu ngumpul tadi, ada yang menyebut saya membawa sembako bu Rusmini?” tanya Sumirah.
Marni tidak bisa berkilah. Karena saat ibu-ibu berkumpul, ada Tinah. Tinah adalah adik kandung Mardi, suami Sumirah. Ia memastikan Tinah yang menyampaikan kabar itu kepada Sumirah.
“Saya tidak tau soal itu. Kalau mau jelas, tanya Mbak Tari,” ujar Marni.
Mendengar nama itu disebutkan, Sumirah diam sejenak. Tari? Mengapa wanita itu terus memusuhi? Lalu, Sumirah buru-buru meninggalkan Marni. Ia bergegas menuju rumah Tari di kampung sebelah.
Sumirah sudah lama memang tidak menyukai Tari. Tepatnya menjelang Nugroho melamar anaknya. Tari menghalang-halangi rencana lamaran dan pernikahan Prantini dengan Nugroho.
Tari jengkel ketika Nugroho memilih Prantini sebagai calon isterinya. Tari ingin Nugroho menjadi menantu dengan menikahi Puji, anaknya. Tapi, Nugroho tak pernah mencintai Puji.
Sementara Puji sangat mencintai Nugroho. Berharap laki-laki itu bisa menjadi suaminya. Tari berkali-kali mengajak Samsul dan Siti besanan.
Tapi, Samsul maupun Siti tidak ingin menyetir kehidupan Nugroho, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Meskipun demikian, Samsul dan Siti tetap menjalin hubungan baik dengan Tari yang telah empat tahun menjanda.
Namun bagi Sumirah, perempuan berbadan gendut yang selalu memakai daster itu tetap menjengkelkan. Baru setengah perjalanan, Sumirah berpapasan dengan Tari di gang.
Sumirah langsung memaki-maki Tari. Ia tak terima difitnah membawa sembako Rusmini. Begitu pula Tari. Ia juga memaki-maki Sumirah. Ia merasa tidak memfintah.
“Aku mendengar dari Nugroho. Soal benar atau tidak, bukan urusanku,” seru Tari dengan nada tinggi.
Beruntung saat keduanya bertengkar di gang kampung, hanya Muslih yang menyaksikan. Pria yang menjadi pengurus takmir masjid ini langsung melerai. Tari kembali ke rumah. Sementara Sumirah yang terlihat emosi juga pulang.
“Dari mana, Bu?” tanya Prantini yang melihat ibunya menutup pintu. Prantini baru saja bangun tidur.
“Ibu kecewa dengan Nugroho,” kata Sumirah tidak menjawab pertanyaan anaknya.
“Memangnya ada apa dengan Nugroho?” tanya Prantini bingung.
Sumirah bercerita ketika memperoleh kabar dari Tinah, menemui Marni hingga melabrak Tari.
“Nugroho yang menuduh ibu membawa sembako Bu Rusmini. Ibu nggak terima,” kata Sumirah.
“Nggak mungkin, Bu. Nggak mungkin Nugroho seperti itu,” kata Prantini membela calon suaminya.
Obrolan Sumirah dan Prantini berhenti ketika Mardi masuk rumah usai pulang kerja. Mardi melihat keduanya sebentar. Tak lama kemudian, Sumirah menuju dapur. Sementara Prantini masuk kamar.
Sehari berikutnya, Prantini makan siang bersama Nugroho di kantin langganan. Prantini menyampaikan panjang lebar penyebab kemarahan ibunya kepada Nugroho.
Tetapi, Nugroho menyangkal tuduhan Tari. Ia juga tak pernah menyebut-nyebut nama ibunya.
“Aku memang ditugasi membagi sembako oleh Pak Setiawan. Semua baik-baik saja. Saya melihat sendiri Bu Rusmini telah mengambil sembako,” jelas Nugroho.
“Tapi, kamu harus memberi pelajaran bu Tari. Dia memang keterlaluan,” pinta Prantini.
“Apa hubunganku dengan Bu Tari?”
“Kamu ini gimana sih? Dia kan mencatut namamu? Kalau omongan Bu Tari nggak benar, kamu harus meluruskan…”
Nugroho hanya diam.
“Kamu mengetahui sifat ibuku kan? Kalau sudah kagol, sembuhnya lama. Aku minta tolong padamu. Bu Tari harus minta maaf. Hanya itu jalan terbaik. Ibu gampang luruh kalau ada yang mengaku salah dan meminta maaf,” beber Prantini.
Tapi, keinginan Prantini seperti buah simalakama. Ayah dan ibunya sangat ketakutan berhadapan dengan Tari.
Penyebabnya, rumah yang ditempati ayah dan ibunya selama hampir 40 tahun adalah milik Tari. Orang tuanya hanya menyewa. Namun, Tari tidak pernah meminta uang sewa.
Itulah sebabnya, orang tuanya selalu tak berdaya di depan Tari. Hanya satu kali menolak keingian Tari. Yakni, ketika ingin menjodohkan Puji dengan Nugroho.
Prantini menduga yang dilakukan Tari hanyalah cara memisahkan dirinya dengan Nugroho. Dugaan itu dibenarkan calon suaminya. Namun meski difitnah, Nugroho sendiri tak memiliki keberanian berhadapan dengan Tari.
“Kalau soal begini saja, kamu nggak bisa menyelesaikan, ya sudah,” kata Prantini dengan nada kesal.
Akhirnya, Nugroho menemui Tari. Bermaksud melakukan klarifikasi perihal sembako. Namun, Tari merasa tidak pernah menyebut nama Nugroho terkait kabar Sumirah membawa sembako Rusmini.
“Lho, siapa yang bilang?” tanya Tari.
“Bu Sumirah,” jawab Nugroho.
“Itu fitnah. Kalau kamu kurang ajar menuduhku seperti itu, aku bisa saja mengusir orang tuamu. Termasuk kamu. Paham?” kata Tari dengan nada ketus.
Nyali Nugroho jadi anjlok. Lantas pulang. Tapi, merahasiakan apa yang sedang terjadi dari orang tuanya.
Ia tak ingin perkara sembako menyusahkan keluarganya. Sisi lain ia juga tak ingin membuat marah ibu Prantini yang bisa saja berimbas membatalkan rencana pernikahan.
“Aku sudah menemui Bu Tari. Dia membantah. Bahkan, malah mengancam akan mengusir bapak dan ibu,” kata Nugroho kepada Prantini melalui handphone.
“Terus sekarang bagaimana?” tanya Prantini.
“Begitulah kehidupan. Ada warga yang senang ngrasani. Mengumbar kabar bohong. Saling memfitnah. Yang penting, kita tidak melakukan. Itu saja,” Nugroho mencoba memberi pengertian.
“Tapi, bagi ibuku jadi persoalan besar.”
Satu hari kemudian, Nugroho menemui Sumirah untuk minta maaf untuk salah yang tidak dilakukan. Ia menyampaikan semuanya. Menegaskan tidak ada yang membawa sembako Rusmini.
Rusmini sendiri telah menegaskan hal itu melalui grup kampung. Warga juga telah mengetahui kabar sebenarnya: Sumirah tidak membawa sembako Rusmini.
Namun, Sumirah tak bergeming. Ia menunggu Tari meminta maaf. Bila tidak ada permintaan maaf, Sumirah menyatakan tak akan merestui pernikahan Nugroho dan Prantini.
“Bu, apa hubungannya Bu Tari dengan aku dan Nugroho? Kan tidak ada?” tanya Prantini.
“Karena Tari menyebut Nugroho yang mengatakan ibu membawa sembako,” jawab Sumirah. (*)