YOGYAKARTA, ZonaJogja.Com – Keakraban kaum remaja dengan gadget bisa menjadi boomerang dan sasarn tembak para pelaku perundungan siber (cyberbullying), kata Menurut
Pembulian pada ranah dunia maya sebagai migrasi bentuk dari perundungan dunia nyata, sangat membahayakan remaja.
“Bisa mutasi lagi menjadi konflik dan kekerasan dalam dunia nyata,” kata Dosen Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram (UWM), Dr Oktiva Anggraini SIP SPPd MSi.
Oktiva lantas mengutip data 2019 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Frekuensi tindak perundungan di media sosial masuk kategori masif.
Tercatat sebanyak 49 persen dari 150 juta pengguna siber mengalami perundungan.
Sebanyak 37,5 persen dari 49 persen korban cenderung mencari aman. Memilih diam, dan tidak melaporkan.
Kata Oktiva, remaja yang menjadi korban perundungan di siber tidak membuka kasusnya kepada keluarga maupun publik. Memilih merasakan dampaknya sendiri.
“Efek membiarkan kasus menjadi derita remaja,” ujarnya.
Oktiva menyinggung peran orangtua sangat strategis dan fital untuk mengantisipasi anak-anak yang menjadi sasaran perundungan siber.
“Orangtua harus hadir, cepat, dan sigap membantu mengatasi dan menyelamatkan perundungan di media sosial dan media sejenis lainnya.”
Ada tiga bentuk dampak yang biasanya dirasakan korban. Yakni dampak psikis, fisik dan psikososial. Dampak psikis ringan seperti cemas, takut, dampak berat seperti depresi dan keinginan untuk bunuh diri.
Dampak fisik, sebagai rentetan dari psikis, penderita akan pusing, asam lambung naik, sulit tidur dan gangguan pencernaan. Dampak berikutnya bersifat psikososial, anak malas belajar, prestasi menurun. Bahkan, enggan sekolah karena merasa telah dikucilkan teman-temannya.
Bagaimana Solusinya?
Orangtua harus memberi literasi media sosial dan bentuk siber lainnya. Pilihan ini sangat moderat, jauh lebih bijaksana daripada melarang remaja menggunakan media internet.
Orangtua harus sigap. Misalnya mendokumentasikan bukti perundungan dengan cara screenshoot, menyimpan pembicaraan, dan memblokir akun pelalu pembulian.
Pada proses penyelamatan dan identifikasi kejadian, jangan membalas chat. Sebaiknya menyembunyikan komentar yang tidak pantas.
Orangtua harus membangkitkan kepercayaan diri terhadap korban perundungan siber.
Oktiva mengajak orang tua menyimak UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
(aza/asa)