YOGYAKARTA, ZonaJogja.Com – Hari ini, genap 12 tahun terjadinya erupsi besar-besaran Gunung Merapi. Tanggal 16 Oktober 2010, gunung yang terletak di perbatasan DIY – Jawa Tengah ini meletus hebat.
Apa yang terjadi waktu itu? Bagaimana suasana di Kinahrejo? Berikut sepenggal kisah menyedihkan yang sarat dengan rasa duka yang mendalam yang dialami warga lereng Gunung Merapi.
Oleh: Azam Sauki Adham, Pemimpin Redaksi ZonaJogja.Com.
SELASA tanggal 26 Oktober 2010 sekitar pukul 17.00, saya berada di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Sebelumnya, saya mendengar kabar dari radio amatir yang menyebutkan terjadi luncuran awan panas di lereng barat Merapi.
Saat berada di Kinahrejo itu, saya melihat ada lima orang yang seluruhnya bukan penduduk setempat. Mereka berada di warung “Bu Murni” yang sudah tutup.
Murni merupakan menantu Mbah Marijan. Dia adalah istri Mas Asih, anak Mbah Marijan (sekarang jadi jurukunci Gunung Merapi, red).
Warung Murni terletak di sebelah barat rumah Mbah Marijan. Selain lima orang , saya menjumpai beberapa orang pencinta alam yang sejak siang menemani Mbah Marijan.
Antara lain Itonk Aris dan Danar. Saat itu, Mbah Marijan sedang berada di dalam rumah bersama isteri.
BACA JUGA: Besok, DPC Peradi Wonosari Buka Layanan Konsultasi Hukum, Gratis
Tak lama kemudian, mas Agus Wiyarto, mantan ketua DPRD Bantul yang dikenal sebagai kerabat Mbah Marijan, tiba di Kinahrejo. Agus mengendarai mobil Suzuki APV.
Dia didampingi beberapa orang. Ada relawan Tutur Priyono dan Yuniawan Wahyu Nugroho (jurnalis VivaNews).
Setelah keluar dari mobil, mas Agus menyuruh Murni berkemas-kemas meninggalkan Kinahrejo. Sambil menunggu Murni berkemas, saya ditarik mas Agus menemui Mbah Marijan.
Saat itu, Mbah Marijan sedang berada di dapur. Saya ingat betul, Mbah Marijan mengenakan baju batik hijau muda dan sarung (baju batik dan sarung itu kemudian dijadikan ciri khas untuk mengidentifikasi jasad Mbah Marijan).
Simbah mengenakan kopiah putih yang menutupi kepala dengan seluruh rambutnya yang beruban.
Saat kami temui di dapur, Mbah Marijan lantas mengajak kami bergeser ke ruang tamu. Kami sempat ngobrol sebentar. Mbah Marijan sama sekali tak terlihat panik, apalagi tegang.
Kami hanya ingin membawa Mbah Marijan turun. Agus sudah menyiapkan tempat di Jalan Kaliurang untuk ditempati Mbah Marijan. Belum sempat mengutarakan maksud tersebut, datang dua tamu.
BACA JUGA: Gerakan Rakyat Jogja Prediksi Afnan Hadikusumo Bisa Jadi Walikota
Saya menduga, tamu tersebut juga bermaksud membujuk Mbah Marijan agar mau turun.
Di luar, saya mendengar deru beberapa kendaraan menuju Kinahrejo. Saya melihatlima mobil muncul dari jalan di sebelah timur masjid. Penumpangnya tidak banyak. Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh dari arah lereng Merapi.
Beberapa detik kemudian, saya melihat garis merah di gunung. Tapi, warnanya tak begitu jelas karena tertutup kabut tebal. Khawatir terjadi kondisi membahayakan, saya dan teman saya bernama Undung meninggalkan Kinahrejo.
Undung adalah relawan yang tinggal di Dusun Sumber, Balecatur, Gamping. Kami mengendarai sepeda motor Kawasaki ZX 150. Semantara Agus langsung mengajak Murni turun ke Desa Umbulharjo.
Sebelum turun, saya sempat mengajak orang-orang yang membawa mobil segera meninggalkan Kinahrejo. Namun, beberapa warga memilih berada di masjid.
Suasana berubah menjadi tegang. Beberapa penduduk mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Beramai-ramai meninggalkan rumah.
Saya melihat sejumlah warga bergerombol di pinggir jalan. Mereka terlihat bingung. Saya mendekati gerombolan warga itu. Saya menginformasikan kondisi Merapi sangat berbahaya.
BACA JUGA: Merasa Kehilangan, Semua Bilang: George Orang Baik
Ada warga yang langsung turun. Ada juga yang mengabaikan. Bagi warga Kinahrejo, sosok Mbah Marijan sangat dihormati dan dijadikan panutan. Ketika Mbah Marijan memilih tetap tinggal di rumah, warga meyakini akan selamat jika tetap tinggal di rumah.
Pukul 18.30, saya tiba di barak pengungsian. Dalam perjalanan menuju tempat pengungsian itu, saya menyaksikan abu beterbangan. Saya sempat sesak napas karena abu terhirup hidung. Mata juga perih.
Di barak pengungsian, sudah berkumpul ratusan bahkan ribuan orang. Suasana karut-marut. Lalu lintas semrawut karena bertemunya kendaraan roda empat dan sepeda motor dari arah berbeda.
Pikap dan truk langsung menuju ke atas untuk menyisir kampung-kampung. Warga langsung dibawa ke sekolah Taman Dewasa yang berjarak sekitar 500 meter dari Balai Desa Umbulharjo.
Di bawah sempat beredar kabar Mbah Marijan tewas. Kabar itu terdengar mas Asih yang berada di barak pengungsian.
“Mudah-mudahan Allah SWT memberikan keselamatan dan kesehatan kepada bapak (Mbah Marijan, Red),” kata Mas Asih.
BACA JUGA: Pelayanan Maxim Makin Oke, YPSSI Siapkan Santunan bagi Pengemudi dan Penumpang
Sekitar pukul 21.00, saya bersama Pristiawan Buntoro, Irfan Yusuf dan kawan-kawan dari PKPU memutuskan naik ke Kinahrejo. Tujuannya melihat kondisi Kinahrejo, termasuk memastikan kondisi Mbah Marijan.
Dalam perjalanan, saya juga melihat Tonden bergegas menuju Kinahrejo. Dalam perjalanan, kami harus ekstra hati-hati. Selain jalan dipenuhi abu, sinar lampu hanya mampu menerangi sekitar dua meter.
Tiba di Kinahrejo, suasana gelap. Listrik mati. Bau belerang sangat menyengat hidung. Udara terasa panas. Pesawat handphone terkendala karena tidak ada sinyal.
Pencarian korban tetap dilakukan. Tak lama kemudian, beberapa relawan menemukan warga yang menjadi korban awan panas terkapar tak berdaya di jalan.
BACA JUGA: Adit Setiawan, Pebisnis Plafon PVC dari Minggir yang Garap Banyak Proyek di Indonesia
Kami memutuskan bergerak ke atas meski dihantui rasa takut. Sementara sepeda motor dan ambulans tidak bisa naik ke Kinahrejo karena terhalang pohon-pohon besar yang tumbang dan menutup jalan.
Solusinya, relawan dari bawah membawa gergaji mesin. Pohon dan bambu yang menutup jalan dipotong. Kendaraan pun leluasa melewati.
Dari belakang, ambulans dan kendaraan penerang dari Brimob ikut mengawal upaya pembersihan jalan. Korban berserakan di jalan. Semua dalam kondisi memprihatinkan. Ada yang meninggal, ada yang kesakitan karena seluruh badannya terbakar.
Alfatehah… (*)