SLEMAN, ZonaJogja.Com – Biaya politik yang tinggi menjadi penyebab utama pejabat dan politisi melakukan korupsi.
“Biaya politik yang mahal memicu para pejabat dan politisi korupsi,” kata pakar hukum, Dr Busyro Muqoddas SH MHum pada Kuliah Umum Magister Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) di Kampus Terpadu di Jalan Tata Bumi Selatan, Banyuraden, Gamping, Sleman (15/10/2022).
Kuliah umum diikuti mahasiswa baru pascasarjana Fakultas Hukum UWM, dan mahasiswa S1 yang sedang menyelesaikan skripsi.
Busyro mengatakan, biaya politik sangat fantastis. Pilkada walikota dan bupati, misalnya. Calon harus merogoh uang rata-rata Rp 30 miliar.
Biaya politik bagi yang ingin menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar. Sementara biaya yang dikeluarkan calon presiden, jumlahnya tak terhingga.
BACA JUGA: Masyarakat Cenderung Remehkan Pelecehan Seksual, Ini Faktanya
“Teman akrab saya ditawari menjadi wakil presiden diminta setor modal biaya politik sebesar Rp 7 triliun,” ujar Busyro tanpa menyebut idetitas teman yang dimaksud.
Kata Busryo, tingginya biaya politik sebagai konsekuensi desain pemilu yang dilegalkan dalam UU Parpol, UU Pemilu, dan UU Pilkada.
Peran oligarki dan bisnis ikut memperparah terjadinya korupsi. Para pemodal berusaha membeli calon presiden, calon kepala daerah, dan pejabat lain agar mendukung kepentingan bisnis bila terpilih.
“Korupsi terjadi dalam sejumlah desain,” ujarnya.
BACA JUGA: Tinggi, Animo Masyarakat Manfaatkan KUR di Bank BPD DIY
Yakni, korupsi atas dasar alasan kebutuhan pejabat, politisi mengembalikan modal politik, korupsi atas dasar serakah yang dilakukan orang kaya, dan korupsi yang dirancang melalui undang-undang.
Busyro mendorong intelektual kampus harus terlibat secara intensif dalam berbagai gerakan dan pembuatan regulasi antikorupsi.
Rektor UWM Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc menyatakan, oligarki dan kekuatan bisnis mempengaruhi pemerintahan dengan kepemimpinan lemah.
Di Amerika, kekuatan pengusaha relatif kecil mempengaruhi pengambilan kebijakan.
“Celakanya, di Indonesia kepemimpinan belum kuat, pasal-pasal undang-undang mungkin pesanan dari oligaki dan kekuatan bisnis,” kata Edy. (*)