ZonaJogja.Com – Politik karbitan hanya akan memproduksi demokrasi menjadi sakit.
Itulah pernyataan Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram, Dr Mukhijab MA.
“Agar demokrasi tidak sakit, harus menghindari mencetak politisi karbitan,” kata Mukhijab yang juga dikenal sebagai pengamat masalah sosial politik.
Alumnus Sosiologi Fisipol UGM ini mengatakan, regenerasi kepemimpinan nasional melalui pemilihan umum langsung, umum, bebas dan rahasia adalah keharusan.
Tapi, proses suksesi itu selayaknya dilaksanakan dengan mengutamakan etika dan faksun politik.
BERITA LAIN: Sepatu New Balance Keluarkan Produk Baru, Pas untuk Lari, Cocok Dipakai Harian
Para stakeholder politik nasional dan pemegang hak pilih dalam Pemilu 2024 selayaknya mengutamakan regenerasi politik yang mengutamakan fairplay politik.
Menjunjung tinggi regenerasi berbasis pada sistem merit dalam proses pemimpin nasional dan koridor demokrasi.
“Pemimpin nasional harus muncul dari masyarakat yang memiliki kualifikasi, kompetensi secara nasional maupun internasional, serta integritas. Bukan pemimpin karbitan yang dipaksakan dan menggunakan privilege,” ujarnya.
Ia mengingatkan proses regenerasi kepemimpinan nasional menyangkut pertaruhan masa depan negara dan bangsa.
Bukan mempertaruhkan satu keluarga atau dinasti tertentu. Mempertaruhkan bangsa dan negara di tangan satu garis keluarga dan kroni dalam rezim yang berkuasa ibarat gambling.
BERITA LAIN: 23 Relawan Asing Gelar Workshop di SMKN 1 Rota Bayat, Karya Pelajar Curi Perhatian Years of Culture
Potensi kerugian bagi masyarakat lebih besar. Selain menutup peluang regenerasi berbasis pada kepemimpinan masyarakat, politik kroni dan dinasti yang dikarbit justru memproduksi demokrasi yang sakit.
Persoalan kesinambungan kepemimpinan dan keberlanjutan program pemerintah incumbent dalam regenerasi pemimpin nasional hanya menjadi mitos.
Mukhijab menegaskan, kekhawatiran berganti pemimpin bukan dari lingkungan rezim inkumben akan menggagalkan kelanjutan pembangunan ibukota baru merupakan alasan tidak kuat. (*)