SLEMAN, ZonaJogja.Com – Memasuki era budaya digital muncul simbol baru yang mencengangkan. Yakni, artificial intelligence atau kecerdasan artifisial (KA).
KA adalah realisasi proses komodifikasi aksentuatif manusia yang memiliki kemampuan belajar cepat menggambar fantasi dan khayalan, serta memahat sejarahnya sendiri dalam semesta “baru”.
Kemampuan manusia mencipta perangkat KA terus berkembang, menciptakan robot cerdas, super komputer, dan berbagai software canggih.
“Teramalkan akan terus melaju hingga masalah biologis yang menjadi kebutuhan fundamental manusia,” kata Guru Besar Etnolinguistik Bidang Onomastik FIB UNS, Ketua Pusat Unggulan Ipteks Javanologi UNS, Prof Sahid Teguh Widodo PhD pada Dies Natalis ke-60 Fakultas Bahasa Seni dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarya (2/5/2023).
BACA JUGA: 6 Mei, Syawalan Jamaah Khittah Yogyakarta
Negara pesohor teknologi modern seperti Jepang, saat ini mengalami krisis populasi dan resesi seks yang memprihatinkan.
Perkawinan sebagai bentuk pengembangan mahligai rumah tangga dianggap tidak menguntungkan, pemborosan, dan primitif.
Manusia terjebak dalam permainan sendiri, merongrong nilai “humanitat” yang menjadi kodrat alamiah.
Dimensi manusiaminus greget rasa berujung menjadi tubuh organis yang tercerai dari naluri cinta dan kasih sayang.
“Lalu, manusia menjadi deret algoritma yang dingin dan kaku, sendiri dalam gerusan kesepian dan keterasingan di tengah hiruk pikuk pengembaraan logika mekanistis yang tak berujung dan bertepi,” ungkap Sahid.
Sahid mengungkapkan, saat ini berkembang konsep pemikiran holistic antara sains dan seni yang dibangun tiga anggapan dasar.
BACA JUGA: Partai Gelora Sebut 7 Nama Layak jadi Walikota Yogyakarta, Siapa Saja?
Pertama, eksploratif, menjawab dan melanjutkan saja tidak cukup. Kedua, perspektif, kemampuan melihat dari sudut berbeda dan cermat.
Ketiga, skala, mempertimbangkan gambaran besar menyeluruh. Pemikiran ini telah berhasil menemukan karakteristik pemikiran rasional-intuitif, rasional-emosional-intuitif, dan filosofis-estetis.
“Tidak mengherankan jika teknologi digital mampu meniru fungsi kognitif manusia. Dapat mengenali lingkungan, bahasa, pola, keputusan, dan sistem belajar mesin,” ujarnya.
Kata Sahid, kecerdasan artifisial cenderung semakin menentukan dan mengendalikan berbagai sendi kehidupan.
Big Data seakan menjadi symbol kekuatan teknologi digital dan mejadi dasar penarikan kebenaran dan klaim pengalaman manusia.
Itulah sebabnya, konstruk pengetahuan ini sungguh terbuka untuk dikritisi, karena memperkuat kekawatiran terjadinya marginalisasi dan pengasingan seni budaya warisan. (*)