DAYA tahan bahasa, seni, dan budaya dalam konteks budaya digital-global harus tetap ada di dalam rengkuhan spirit dan cinta kasih manusia.
Pada tataran praksis kehidupan, kemampuan adaptif sangat diperlukan, dengan cara:
Pertama, optimalisasi penyelenggaran event kebudayaan dan ruang diskusi digital di tengah perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat.
Kedua, optimalisasi sarana dan prasarana digital technology dan pengembangan networking lokal, nasional dan global untuk pengembangan kebudayaan pada kancah baru kecerdasan artifisial.
BACA JUGA: Karena Faktor Ini, Jepang Alami Resesi Seks yang Memprihatinkan
Ketiga, maksimalisasi packaging produk kebudayaan untuk lintas generasi (X, Y, Z, & A) mengikuti pola konsumsi media saat ini, virtual reality (VR) dan augmented reality (AR)
Keempat, peningkatan keberdayaan kelompok seni, baik dalam ranah lembaga pendidikan formal, informal, dan non-formal, for-kom, dan komunitas seni.
Kelima, optimalisasi sistem jaminan kesejahteraan sosial pekerja seni, terutama perhatian bagi para seniman yang mulai kurang produktif/lanjut usia
Keenam, optimalisasi pelatihan digital tech untuk para pekerja kebudayaan, khususnya artificial intelligent, maching learning, dan learning machine berbasis tradisi dan kesenian Jawa yang soegih.
Sementara penguatan dimensi manusia dalam perkembangan budaya digital memiliki pengaruh pada bidang-bidang strategis.
Pada sistem sosial, mendorong masyarakat menemukan kembali dan mengekalkan nilai-nilai murni bangsa sebagai horizon baru.
BACA JUGA: 6 Mei, Syawalan Jamaah Khittah Yogyakarta
Terhadap sistem pendidikan, mengintegrasikan potensi kebudayaan dan teknologi informasi (digital) serta eksplorasi kearifan tradisi dalam pendidikan.
Pada kerangka kelembagaan dan ekonomi, mengangkat derajat mikro dan makro ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru, dan kesejahteraan yang bersandar pada prinsip sehat, aman, kreatif, dan inovatif.
Sedangkann terhadap identitas budaya, membuka akses dan mengangkat seni dan tradisi budaya menjadi salah satu penciri kebudayaan nasional di tengah tumbuhnya skenario baru peradaban.
Nah, saat ini kita tidak saja menjadi makhluk yang berhadapan, melainkan sekaligus menghadapi era berkembangnya budaya digital.
Situasi yang sulit harus dijawab dengan kemampuan mengolah diri sendiri dalam konteks yang berubah dan merubah, hingga hidup manusia menjadi lebih bermakna dan menyejarah.
BACA JUGA: Partai Gelora Sebut 7 Nama Layak jadi Walikota Yogyakarta, Siapa Saja?
Kita harus berani bermain, menjadi pemain, dan di dalam permainan yang menguatkan jiwa dan raga hingga kita menjadi subjek total yang bebas.
Kita bermain dengan ilat, ulat (ekspresi logis), glagat (perilaku), dan kemat (wisdom-rasa).
Permainan adalah awal dari kebudayaan. Karenannya jiwa menjadi bangkit. Jelasnya, dengan cinta (eros) dan perjuangan (agon), permainan menjadi sangat penting dalam pendidikan di dalam maknanya yang luas. (*)
- Guru Besar Etnolinguistik Bidang Onomastik FIB UNS, Ketua Pusat Unggulan Ipteks Javanologi UNS
- Sebagian materi yang disampaikan pada Dies Natalis ke-60 Fakultas Bahasa Seni dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarya, 2 Mei 2023