Kronika

Tak Melulu Soal Ekonomi, Herry Zudianto Ingin Malioboro jadi Etalase Seni dan Budaya

123
×

Tak Melulu Soal Ekonomi, Herry Zudianto Ingin Malioboro jadi Etalase Seni dan Budaya

Sebarkan artikel ini
MASA TENANG: Mengisi masa tenang menjelang hari coblosan 27 November, Herry Zudianto beserta sejumlah anggota timses paslon nomor 3 menyempatkan ngobrol tentang Malioboro masa lalu. (azam/zonajogja.com)

ZonaJogja.Com – Walikota Yogyakarta periode 2001-2006 dan 2006-2011, Herry Zudianto,  memiliki kisah kehidupan di Malioboro.

Herry yang waktu itu tinggal di rumah orang tuanya di kampung Kauman pernah berjuang menjalani getirnya kehidupan di Malioboro.

Advertisiment
Scroll ke bawah untuk berita selengkapnya

Saat masih bocah, Herry berjualan petasan. Ia belanja petasan di toko yang sehari-harinya buka di kampung Beskalan.

“Saya jualan petasan tahun 1965. Kenangan tentang perjuangan hidup yang tak akan  terlupapkan,” kenang Herry.

BERITA LAIN: Dorong Inovasi Bisnis Perumahan, BTN Gelar Ajang Kompetisi Housingpreneur, Roadshow Perdana di UGM

Puluhan petasan yang dibelinya dari toko dijajakan masyarakat yang lalu-lalang di Malioboro.

Anak pengusaha batik ini menjual petasan dari pagi hingga siang.  Keuntungan berjualan sebagian ditabung,  sebagian digunakan lagi untuk menambah jumlah petasan.

“Saya menjual hanya saat libur sekolah pada hari Jumat,” ujar Herry.

Bagi Herry, Malioboro menyimpan sejuta kisah. Tak hanya menyaksikan orang tuanya berjualan batik. Ia juga merekam kehidupan Malioboro pada masa lampau.

Suami Dyah Suminar ini masih ingat suasana Malioboro yang menyuguhkan warna kehidupan masyarakat  tahun 1965 – 1980an.

BERITA LAIN: Mengenang Yu Hadi, Maestro Peracik Gudeg dari Kampung Kauman

Tak hanya soal kehidupan para pedagang kaki lima. Malioboro juga selalu ramai dengan aktivitas seni dan budaya.

Para seniman berekspresi di Malioboro. Para pujangga membaca karya-karya sastra. Seniman lukis menggores cat di kanvas.

Belum lagi kehidupan berkesenian di Senisono yang sekarang menjadi bagian dari kompleks Gedung Agung.

Itulah sebabnya, Herry berharap suasana Malioboro tahun 70an bisa dihidupkan lagi.

“Kalau bicara Malioboro, tidak harus melulu soal ekonomi,” ujarnya.

BERITA LAIN: Museum Perjuangan Kembali Dibuka, Makin Apik jadi Wisata Edukasi Anak Muda

Tapi, seni dan budaya di Malioboro harus dihidupkan lagi. Herry menyebut perlunya Malioboro menjadi etalase seni budaya ala Yogyakarta. Malioboro  menjadi soul of Yogyakarta.

“Terus terang, kadang muncul kerinduan seperti ingin mengulang kembali romantisme di Malioboro pada masa lalu,” kata Herry.

Masyarakat bisa menyaksikan para pelaku seni bermain siter. Terdengar suara seniman yang nembang geguritan Jawa. Pengamen yang menghibur masyarakat di Malioboro.

Harapannya, masyarakat atau wisatawan bisa merasakan kenyamanan saat berada di jantung kota Yogyakarta.

BERITA LAIN: Disurvei IPDA, Afnan-Singgih Unggul, Elektabilitas Tembus 30,7 Persen

“Soal pengamen, apapun bentuknya, saya berpendapat perlu dikurasi,” usul Herry.

Para pengamen perlu mendapatkan sentuhan artistik, agar lagu-lagu yang disuguhkan bisa menjadi hiburan wisatawan.

Malioboro pun menjadi semakin istimewa bila potensi pegiat seni lokal di tingkat kampung  bisa ditampilkan secara bergiliran. (*)