Tutup
Headline

Penegakan Hukum Sering Menentang Putusan Mahkamah Konstitusi

193
×

Penegakan Hukum Sering Menentang Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebarkan artikel ini
DIKRITISI: Kesenjangan dalam pelaksanaan putusan hukum MA di kalangan penegak hukum memerlukan kanalisasi hukum. (mukijab/zonajogja.com)

YOGYAKARTA, ZonaJogja.Com – Pelaksanaan penegakan hukum masih sering bertentangan dengan putusan hukum terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK) RI.

Guru Besar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Dr Hartiwiningsih menegaskan tindakan penegak hukum dan lembaga peradilan yang mengabaikan putusan hukum MK sangat merugikan masyarakat.

Advertisiment
Scroll ke bawah untuk berita selengkapnya

“Khususnya pihak yang berurusan dengan hukum,” kata Hartiwiningsih dalam Seminar Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perubahan Norma Pidana yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta (15/1/2022).

Hartiwiningtyas menyebut sejumlah kasus peradilan mengabaikan putusan MK. Antara lain kasus dr Bambang Suprapto, ahli bedah di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara (DKT) di Madiun, Jawa Timur.

Pengadilan Negeri Madiun dan kasasi Mahkamah Agung menghukum dr Bambang bersalah. Dipidana 1,5 tahun penjara karena  tak memiliki izin praktik di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara (DKT) Madiun, Jawa Timur.

“Padahal Mahkamah Konstitusi telah menghapus hukuman penjara untuk pelanggaran izin praktek,” lanjutnya.

Berdasarkan pasal 24c UUD 1945 yang dipertegas melalui pasal 10 ayat (1) UU 24 tahun 2003 tentang MK,  putusan MK bersifat final dan mengikat.

Praktiknya, ada putusan pengadilan maupun proses penegakan hukum lain yang mengabaikan putusan MK. Pada kasus dr Bambang, terdakwa dinyatakan bersalah melanggar ketentuan pasal 76 dan 79 UU  29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Padahal MK menyatakan norma hukuman penjara tidak lagi berlaku.

Kata Harti, merujuk MK Nomor 4/PUU-V/2007 yang menyatakan pasal 76 dan pasal 79 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945, seharusnya terdakwa tidak dijatuhi pidana penjara.

Dampak putusan MK Nomor 4/PUU-V/2007 terhadap norma dan sanksi pidana dalam pasal 76 dan pasal 79 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran seharusnya tidak berlaku lagi sebagai konsekuensi  putusan MK.

Contoh kasus lain di Pengadilan Negeri Ruteng, NTT. Rikardus Hama dan Adrianus Ruslin, petani dari Kabupaten Manggarai Timur, NTT dijatuhi pidana penjara tiga  bulan atas perbuatan tidak menyenangkan seperti penjelasan pasal 335 ayat (1) KUHP.

Padahal, putusan in bertentangan dengan Putusan No 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014. Putusan MK menyatakan pasal 335 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “perbuatan tidak menyenangkan” tidak memiliki kekuatan mengikat.

“Dua kasus ini menunjukkan putusan MK memiliki kekuatan mengikat. Tetapi praktiknya tidak sepenuhnya dipatuhi dan diikuti penegak hukum,” kata Harti.

Dosen Fakultas Hukum UWM, Hartanto SE SH MHum menyatakan, kesenjangan dalam pelaksanaan putusan hukum MA di kalangan penegak hukum memerlukan kanalisasi hukum.

Lembaga terkait yang memfasilitasi penegakan hukum seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan badan legislasi parlemen, bisa melakukan dua langkah.

Yakni, perubahan undang-undang dengan mencantumkan adendum atau klausul tambahan seperti menambahkan pasal perubahan dalam undang-undang yang dilakukan uji materiil.

Kedua, membuat undang-undang baru jika perubahan norma hukum dalam putusan MK sangat substansial dan berdampak luas dalam masyarakat.

(mkb/asa)