KEKERASAN Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah kasus yang kadang atau sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Obyek dan korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak. Namun, faktanya.
Kaum perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan enggan melaporkan langsung kepada pihak berwenang. Setelah terjadi sampai dua, tiga hingga empat kali kekerasan, korban baru melapor.
Di Kota Yogyakarta, misalnya. Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta, Sarmin menyebutkan, hingga akhir 2024 mencatat sebanyak 223.248 kasus kekerasan.
Sekitar 87 persen dari jumlah tersebut, korban kekerasan merupakan perempuan.
BERITA LAIN: Meriah, Silaturahmi Tali Tasbih Indonesia, DC Cafe Reborn jadi Kawasan Cagar Kreatif Tanah Air
Kebanyakan korban kekerasan adalah istri. Namun tidak menutup kemungkinan, istri juga pelaku kekerasan terhadap suami.
Kekerasan juga sering dialami perempuan yang belum menikah atau masa pacaran.
Sekerasan dalam rumah tangga bisa bermacam-macam. Ada kekerasan fisik, kekerasan psikologis, penelantaran sosial, serta perundungan. Terjadinya kekerasan dapat dipicu sejumlah faktor.
Antara lain percekcokan suami-istri, faktor ekonomi, pihak ketiga dalam rumah tangga, atau ketidaksepahaman dalam menyelesaikan masalah.
Selama ini, bantuan dan perlindungan terhadap korban datang dari tetangga, kerabat terdekat, serta petugas yang didelegasikan.
Sebenarnya, lembaga yang memberi perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
BERITA LAIN: BKK Danais 2025 Dibagikan, Kulon Progo Tertinggi, Terima Rp 103 Miliar
Sebut saja Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ini adalah rumah sakit anggota Forum Perlindungan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPKKP) DIY.
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta juga memberi pelayanan kesehatan terhadap korban.
Supervisor Diklat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang juga anggota FPKKP DIY, Siti Istiyati SST MKes mengungkapkan, korban biasanya datang ke rumah sakit untuk periksa.
Selanjutnya korban kekerasan mendapat penanganan lebih lanjut.
Lantas, bagaimana mencegah terjadinya KDRT dalam Islam? Ketua Program Studi Psikologi Pendidikan Islam (PPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Mohammad Syifa Amin Widigdo SAg PhD menegaskan, prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah menciptakan sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), warohmah (kasih-sayang).
Tiga komponen tersebut merupakan pondasi utama pernikahan. Laki-laki sebagai pemimpin wanita ( ar-rijaalu qowwamu ‘alannisa ) hendaknya memiliki tanggungjawab memperlakukan wanita dengan baik.
BERITA LAIN: Ikuti Acara “Sehari Menjadi Dahlan Muda”, Ratusan Pelajar Tertarik Kuliah di UAD
Keharusan itu disebutkan dalam QS An-Nisa ayat 19: “Wa ‘asiru hunna bil ma’ruf. Pergaulilah mereka (istri-istri) dengan cara yang baik.”
Jika wanita berbuat tidak patuh (nusyuz) terhadap suami, ada tahapan perlakuan.
Dimulai memberi nasehat (fa’idzuhunna), lalu memisahkan ranjang (wahjuru hunna fil madhoji’i).
Jika kedua tahapan tidak mengubah perilaku, tindaknnya adalah pukulan (wadlribu hunna).
Namun, pukulan yang tidak dimaknai kekerasan hingga sampai melukai. Apalagi menimbulkan kerusakan anggota tubuh.
Jika dalam rumah tangga terjadi masalah yang mengakibatkan kekerasan yang mengancam jiwa (hifdz -al nafs), akal (hifd al aql) dan keturunan (hifdz al-nasl), harus ada keberanian korban minta pertolongan.
Bisa kepada keluarga terdekat, tetangga, atau orang professional yang memahami konseling pernikahan.
Bila kekerasan sampai menimbulkan cidera fisik, korban harus berani melaporkan ke pihak berwajib sebagai perbuatan kriminal.
Meminimalisir terjadinya KDRT, sebaiknya menghindari pernikahan di bawah umur. Anak yang belum sepantanya menikah belum memahami tujuan pernikahan.
Mereka belum memiliki kematangan mental untuk memasuki jenjang pernikahan. Pasangan suami-isteri harus belajar memahami hak dan kewajiban.
Pasangan suami isteri hendaknya saling merawat kelebihan sekaligus menerima kekurangan.
BERITA LAIN: Mewujudkan Harapan Baru dalam Tantangan Kehidupan | oleh: Bintang Afkarronaa
Konflik rumah tangga tidak boleh disebarluaskan, tetapi diselesaikan bersama dalam internal keluarga. Tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah mendidik anak sesuai zaman.
Dalam Islam, mengenal tiga istilah dalam konteks mendidik anak. Yakni, tarbiyah (pendidikan), ta’lim (ceramah), ta’dib (pembinaan akhlaq).
Terdapat perbedaan konsep mendidik anak di era masa lalu dengan zaman sekarang.
Dulu, orientasi pendidikan lebih pada instruksional dengan perintah dan larangan. Sekarang ditekankan pada aspek edukasi.
Selain ta’lim, cara ta’dib juga perlu dilakukan. Ta’dib bertujuan menumbuhkembangkan karakter dan akhlaq anak dengan menggunakan pendekatan dialogis serta keteladanan.
Orang tua harus banyak belajar untuk mendapatkan referensi menjadi orang tua yang mampu menanamkan nilai-nilai dan karakter yang baik kepada anak. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta