Kronika

Betulkah Keindonesiaan dalam Batik Telah Hilang? Ini Jawaban Kurator dan Perajin

237
×

Betulkah Keindonesiaan dalam Batik Telah Hilang? Ini Jawaban Kurator dan Perajin

Sebarkan artikel ini
MELESTARIKAN BATIK: Memaksimalkan proses pembuatan batik tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. (sigit)

ZonaJogja.Com – Sekitar 50 orang terdiri perajin batik, pemerhati budaya, komunitas dan pemerintah daerah bertemu di Baleseni Condroradono, Kadipaten Kidul 355, Yogyakarta.

Mereka menghadiri dialog  tentang batik pada Minggu (30/7/2023) malam.

Advertisiment
Scroll ke bawah untuk berita selengkapnya

Penggagas dialog adalah Dra Kusminari MPH (owner Batik Ceduy) dan Sigit Sugito (budayawan).

“Topik dialog malam ini mengenai batik dan kebudayaan Indonesia. Bagaimana menemukan kembali keindonesiaan kita dalam batik,” kata Kusminari membuka acara.

Dialog menghadirkan  Aima Nugrahani (Dosen FIB UGM), dan Dra Ina Sita Nur’Ainna MHum dari Komunitas Batik Jolawe.

Ina mengungkapkan, batik merupakan warisan budaya adiluhung.

BERITA LAIN: Para Mantan Wartawan Yogya Post Bertemu, Apa yang Mereka Rasakan?

“Batik harus terus dihidupkan. Terus dilestarikan dalam kehidupan modern seperti sekarang,” kata Ina.

Ina menyebut banyak jenis dan motif batik yang berkembang di Indonesia. Mulai Aceh hingga Papua.

Batik setiap daerah memiliki motif berbeda. Motif yang dipengaruhi tradisi klasik sampai modern.

Sementara Asti mengungkapkan tentang dinamika perkembangan batik tradisional dan batik modern di Indonesia. Termasuk proses pembuatan batik tulis dan batik cap.

Batik tradisional memiliki ciri antara lain ada makna simbolik.  Warnanya cenderung gelap.  Dan, motif batik menampilkan ciri khas daerah.

Sementara produk batik modern, polanya tidak memiliki makna khusus.

Warna yang digunakan biasanya perpaduan merah, tua, biru, kuning, dan ungu atau dengan warna lain.

BERITA LAIN: Merti Dusun Sumuran Bikin Profesor dari Austria Terharu

“Yang perlu kita maksimalkan sekarang adalah bagaimana proses pembuatan batik tidak menimbulkan pencemaran lingkungan,” kata Asti.

Topik lain yang mengemuka dalam dialog  terkait ketersediaan bahan batik. Pasalnya, kain yang digunakan untuk membuat batik masih import.

Antara lain membeli kain dari China. Padahal, harganya tidak murah. Harga yang tinggi akan mempengaruhi kemampuan perajin terus memproduksi batik.

“Saya sepakat bila bahan kain perlu dipikirkan. Bagaimana para perajin bisa mudah mendapatkan tanpa harus membeli kain import,” kata Ina.

BERITA LAIN: Kare Ini Rasanya Enak Sekali, Bikin Ngeces !

Asti yang duduk di sebelah Ina, juga mendorong agar pemerintah daerah ikut memikirkan ketersediaan bahan kain batik.

“Harus dicari solusinya,” ujarnya.

Sigit Sugito selaku penggagas dialog mengungkapkan, akan digelar dialog susulan.

Agenda yang akan dibahas menyangkut kebijakan dan regulasi pemerintah daerah tentang ketersediaan kain. (*)