SLEMAN – Pakar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu SH LLM mengatakan MPR RI tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945.
Dari sisi hukum tata negara, tidak ada hal mendesak dilakukan pengaturan ulang soal konstitusi negara.
Jika dipaksakan dan sering terjadi amandemen mengakibatkan kondisi hukum dan politik di Indonesia tidak pernah stabil.
“Karena fondasi dasar negara sering diubah-ubah, maka bangunan negara selalu akan bergeser. Padahal, untuk dapat stabil diperlukan waktu yang panjang,” kata Andi Sandi seperti dilansir ugm.ac.id, hari ini (30/8/2021)
Dosen Fakultas Hukum UGM ini menyatakan UUD 1945 secara filosofis merupakan kontrak dasar hubungan antara diperintah dan yang memerintah, serta antar-pemegang kekuasaan negara.
BACA JUGA: Di Masa Pandemi, Warung Legenda Ini Tetap jadi Favorit
Undang undang dasar merupakan kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan negara. Bukan kepentingan waktu sesaat.
Jika undang undang dasar diubah hanya untuk memenuhi hasrat sesaat, pasti akan detail dan tidak long lasting.
“Lihat saja pengalaman Carlos Menem di Argentina. Dia berhasil mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama 3 periode. Tetapi tetap saja akhirnya terjadi kekacauan. Kemudian UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula,” bebernya.
Pengamatan Andi, konstruksi amandemen UUD 1945 sekarang ini lebih condong dikuasai partai politik, khususnya berkaitan keputusan akhir melakukan amandemen.
Mekanismenya, lembaga negara dapat mengajukan permintaan amandemen undang undang dasar kepada MPR.
MPR akan menelaah. Lalu, diputuskan dalam rapat paripurna MPR.
BACA JUGA: 248 Anak di Kota Yogyakarta Kehilangan Orang Tua
Padahal, MPR beranggotakan anggota DPR dan anggota DPD. Jika kemudian seluruh anggota DPR yang semuanya berasal dari parpol setuju, proses amandemen pasti terjadi.
Padahal, dari aspek hukum tata negara, saat ini tidak ada hal mendesak dilakukan amandemen.
Andi Sandi juga menyinggung isu akan dikembalikan haluan penyelenggaraan negara melalui pokok-pokok haluan negara seperti aturan GBHN di era zaman Orde Baru.
Kata Andi, aturan ini bertentangan konsep pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.
Jika pemerintah melaksanakan program kerja yang ditentukan MPR, berarti Indonesia adalah negara parlementer. (aza/asa)