Yoseph Umarhadi MSi, mantan anggota DPR RI menyampaikan teori terkait Pancasila.
Teori itu disampaikan Yoseph saat memaparkan disertasi berjudul “Komparasi Pandangan Notonagoro dan Drijarkara Mengenai Filsafat Pancasila dan Relevansinya Bagi Pengembangan Demokrasi Indonesia”.
Disampaikan pada Ujian Terbuka yang dipromotori oleh Prof Dr Lasiyo MA MM dengan Ko-Promotor Dr Heri Santoso.
Berikut pemikiran Yoseph.
PROFESOR Notonagoro (Guru Besar Filsafat UGM) adalah seorang ilmuwan yang religius atau seorang religius yang ilmuwan, menerima wahyu sebagaimana orang yang taat beragama.
Notonagoro tidak hanya dipengaruhi Plato dan Aristotelian dan Thomas Aquinas, tetapi juga pengaruh kejawennya sangat kuat.
Notonagoro melihat kodrat manusia sebagai monopluralis (banyak entitas dalam kesatuan), terdiri dari badan dan jiwa, sifatnya adalah mahkluk individu dan sosial, dan kedudukannya adalah mahkluk pribadi dan ciptaan tuhan.
Manusia yang berbadan dan berjiwa (akal, rasa dan kehendak) adalah mahkluk sosial, manusia individu membutuhkan kehadiran manusia lain. Kehidupan bersama merupakan tuntutan dari kodratnya sebagai mahkluk sosial.
Sebagai ciptaan Tuhan, manusia merasa wajib untuk hidup taat (taklim) kepada Tuhan, karena Tuhan adalah causa prima (penyebab utama segala sesuatu).
BACA JUGA: MPR Tak Perlu Lakukan Amandemen UUD 1945
Diperlukan empat tabiat shaleh. Yakni, watak kehati-hatian, watak keadilan, watak kesederhanaan, dan watak keteguhan.
Sementara itu, Profesor Driyarkara mewakili pemikir eksistensialis fenomenologis yang menekankan pengalaman manusia eksistensial sampai kepada rasio murni, penyebab terakhir.
Driyarkara juga seorang imam Yesuit (ulama kristen) yang menerima wahyu sebagai kebenaran dan mengedepankan intuisi sebagaimana orang jawa pada umumnya.
Dengan gaya berfilsafatnya yang eksistensialis (pengalaman), kodrat manusia itu adalah dwaita-adwaita (kebhinekaan yang tunggal/ kedwitunggalan). Kodrat manusia menurut Driyarkara, adalah jasmani dan rohani.
Driyarkara lebih menekankan dimensi rohani. Manusia itu hakikatnya adalah entitas yang plural, tetapi merupakan satu kesatuan yang mutlak. Melalui kesadarannya, kodrat manusia itu ada bersama yang lain dalam cinta kasih (liebendes mitsein). Manusia itu adalah “siapa” bukan “apa”, maka manusia adalah seorang pribadi (persona).
Berangkat dari pemahaman eksistensialismenya tentang kodrat manusia sebagai subyek (persona) yang hidup bersama subyek lain dalam cinta kasih (liebendes mitsein), dasar aksiologi Pancasila Drijarkara adalah manusia Pancasila.
Artinya, sikap dan perilaku manusia Indonesia adalah sikap-sikap yang dituntut oleh sila-sila pancasila. Demikian pula negara Indonesia adalah negara Pancasila.
BACA JUGA: Di Masa Pandemi, Warung Legenda Ini Tetap jadi Favorit
Dengan demikian, pandangan Notonagoro dan Driyarkra saling melengkapi satu sama lain. Semakin menguatkan teori bahwa selayaknya Pancasila disebut sebagai ilmu pengetahuan dan memiliki kebenaran yang diperoleh dengan mengkaji hakikat manusia (Indonesia) yang memiliki nilai-nilai hakiki yang absolut, tidak berubah dan universal.
Pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman (empiris) dan diolah oleh akal (rasio), intuisi dan wahyu serta memiliki kemanfaatan bagi kesejahteraan manusia (filsafat manusia).
Ini juga menjadi persembahan saya untuk negara, merumuskan Filsafat Pancasila lebih komprehensif. Karena selama ini pendekatan filosofis dari berbagai tokoh pemikir belum disatukan. ***
- Penulis adalah mantan anggota DPR RI
- Disampaikan pada Ujian Terbuka memperoleh gelar doktor bidang ilmu Filsafat di Ruang Sidang “Persatuan” Lantai 3, Gedung Notonagoro Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 30 Agustus 2021.