ZonaJogja.Com – Pernah mendengar pelecehan emosional? Ini adalah istilah yang dibikin buku oleh antropolog forensik, Prof Etty Indriati.
Judulnya “Mengenal Pelecehan Emosional dan Proses Pemulihannya”. Buku ini menjadi bahan resensi di Gedung Perpustakaan UGM (29/11/2023).
Etty mengungkapkan, jenis pelecehan bermacam-macam. Ada pelecehan emosi, pelecehan seksual, atau kekerasan fisik.
Kekerasan fisik meninggalkan luka memar bagi korban.
BERITA LAIN:
- Kampanye Hari Pertama di Kota Yogyakarta, Semua Caleg Partai Gerindra Bertamu ke Rumah Warga
- Mau Bikin Bio Data Pribadi Berbasis ATS untuk Lamar Kerja? Begini Caranya
“Tapi, pada pelecehan emosi, secara fisik tidak terlihat. Karena yang terluka batinnya,” ujar Etty.
Seseorang yang mengalami pelecehan emosi sering mengalami keraguan. Pengalamannya masih dikategorikan perilaku wajar atau telah menjurus ke arah pelecehan.
Kata Etty, pelecehan emosi adalah pola konsisten berupa kontrol, kuasa, dominasi dan manipulasi.
Dilakukan dengan cara merendahkan, mendiamkan, mengabaikan, menyindir, menyalahkan dan mencurigai melalui perbuatan.
BERITA LAIN:
- Terima Tambahan Modal, Penjabat Walikota Minta Bank Jogja Tambah Alokasi Kredit bagi UMKM DIY
- Direktorat PKM UGM dan Sustainitiate Gelar Seminar, Ungkap Posisi Tenaga Kerja Vokasional dalam Pembangunan
Atau dengan kata-kata yang diselingi kebaikan manis supaya penyintas bingung dan tetap tinggal dalam relasi.
“Pola ini umumnya bertahap, halus, dan tersembunyi sehingga sulit dideteksi,” kata Etty.
Emosi juga bisa dimanipulasi. Misalnya dengan menunjukkan sikap baik secara berkala untuk mendapatkan apa yang diinginkan, mengaburkan masalah.
Atau menggunakan emosi korban sebagai senjata untuk menyerang serta menciptakan realita palsu yang membingungkan korban.
Pelaku pelecehan emosi tak hanya lihai memanipulasi dengan kata-kata supaya korban merasa bersalah.
BERITA LAIN:
- Rumah Gemilang Indonesia Yogyakarta, Tempat Para Santri Digojlok jadi Koki Hebat
- Kulon Progo Buka Layanan Wisata Ramah Disabilitas, Pertama di DIY
Tapi, juga menyangkal tidak melakukan. Lalu menyerang dengan menggeser fokus kembali korban, menuduh korban tidak stabil, memposisikan diri sebagai korban.
“Lalu, menyerang dengan menyatakan pelaku berperilaku demikian karena korban yang menyebabkan,” terangnya.
Lantas, bagaimana mengatasi pelecehan emosi? Antara lain berlatih membangun batasan dengan berani berkata “tidak” kepada orang lain.
Berani berkata “ya” pada diri sendiri. Dan, berlatih asertif. Dukungan teman juga menjadi faktor penting untuk meringankan beban emosi. (*)