YOGYAKARTA, ZonaJogja.Com – Berkisah tentang era 1990an tak akan pernah ada habisnya. Salah satunya adalah “kebiasaan” menghabiskan akhir pekan di alam bebas.
Salah satu lokasi yang banyak didatangi anak-anak muda adalah Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan.
Dusun ini menjadi tempat tinggal Juru Kunci Gunung Merapi, MNg Suraksohargo. Seorang laki-laki tua yang akrab disapa Mbah Maridjan.
Menuju Kinahrejo tahun 1990an bisa dilakukan dengan mengendarai sepeda motor.
Arahnya dari Kapanewon Pakem ke timur. Lalu terus ke utara hingga Kinahrejo.
Kondisi jalan waktu itu masih berupa kerikil dan bebatuan. Butuh kendaraan yang sehat dengan stamina kuat.
BACA JUGA: Taman Budaya Kota Yogyakarta Bakal Dibangun di Embung Giwangan, Outputnya Terbangun Ekosistem Budaya
Anak-anak muda yang menyukai petualangan memilih menggunakan bus Baker.
Sekadar diketahui, bus angkutan umum ini mulai melayani penumpang jurusan Yogyakarta – Kaliurang sejak tahun 1985.
Ada pendaki yang menumpang dari Terminal Umbulharjo. Ada pula yang mencegat di Jalan Mayor Suryotomo.
Jalan ini merupakan titik pemberhentian sementara bus Baker. Menunggu kepulangan bakul-bakul Pasar Bringharjo. Ada pula mahasiswa UGM dan UNY.
Ini adalah angkutan terakhir. Pada jam ini, bus dipenuhi anak-anak muda. Rata-rat mengenakan kemeja fanel dan kaos dengan celana jins. Lalu, di punggung melekat ransel atau tas khas anak gunung.
Setelah kursi terisi, bus Baker dengan warna cat khas biru putih ini membawa penumpang ke titik pemberhentian di sepanjang Jalan Kaliurang, Pakem hingga wisata Kaliurang.
BACA JUGA: Janji Manismu, Inilah Lagu Aishah yang Fenomenal di Era 90an, Simak Liriknya
Dulu, peralatan mendaki yang paling populer bermerek Alpina. Para pendaki biasa membeli sepatu, sandal gunung, tas dan kemeja di salah satu toko di utara Ramai Plasa, Malioboro.
Bus Baker bergerak ke utara. Lalu melewati jembatan Kewek, Terban hingga jalan Kaliurang. Jalanan masih sepi. Lengang.
Kawasan UGM pun masih sepi. Belum banyak pedagang kaki lima berjualan di pinggir jalan. Jalan lingkar utara juga belum ada.
Dalam perjalanan, para penumpang tampak bahagia. Bercanda. Guyon apa saja. Bahkan, sesekali sopir dan kernet ikut tertawa menyimak obrolan di bus.
Sesekali ada pendaki yang membantu menjadi kernet. Sementara kernet asli duduk di kursi depan di sebelah sopir.
Menyenangkan. Tidak ada sekat. Semua terlihat harmoni. Hubungan antara pendaki dan awak bus juga menyenangkan.
Itulah sebabnya, kernet sering membebaskan biaya naik bus. Waktu itu tarifnya Rp 750 hingga sampai ke Kaliurang. Tapi, ada juga pendaki yang ngutang. Baru dibayar seminggu kemudian. Hihihi…
BACA JUGA: 3 Ribu Orang Datangi Jayapura, Ikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara
Setiba di Kaliurang, ada yang mampir maghriban. Ada pula yang langsung jalan kaki masuk kawasan wisata Tlogoputri menuju Kinahrejo.
Berjalan menyisir hutan Merapi. Kondisinya gelap. Tidak ada lampu. Bisa jadi tampak seram dan menakutkan.
Saking sepinya, suara tarikan nafas sampai terdengar. Sesekali terdengar nyanyian binatang-binatang malam.
Namun, karena berangkat secara berombongan, rasa takut itu terlupakan. Radio atau tape walkman yang dibawa beberapa pendaki memberi semangat suasana.
Atau pendaki yang main gitar kencrong, bisa menghibur kesepian. Jalan yang dilewati berupa pasir dan bebatuan. Salah satu lokasi favorit bagi pendaki adalah Kalikuning.
Di tempat ini terdapat jembatan penghubung. Biasa disebut “Jalan Maliboro”. Dibawahnya terdapat tebing dari lava Merapi yang membeku.
BACA JUGA: Kenang Jemek Supardi, Ratusan Orang Saksikan Pantomim di TBY
Sekitar satu jam kemudian, pecinta alam tiba di Kinahrejo. Kebanyakan rumah masih menggunakan semprong sebagai penerang rumah. Ada juga yang sudah dialiri listrik dengan kekuatan 110 volt. Tapi, jumlahnya tak banyak.
Di tempat ini, pendaki langsung menuju basecamp masing-masing. Ada yang ke tempatnya Bu Purwanto, Mbak Udi, Pak Wignyo, Yu Panut, ada juga yang memilih tempatnya Mbah Maridjan.
Sementara ada juga yang langsung menuju warung. Yakni warung milik Bu Pur, Mbah Udi, Yu Panut atau Pa Wignyo di sebelah gapura pendakian menuju Merapi.
Warung ini hanya buka Sabtu dan Minggu. Warung-warung ini tampak sederhana. Hanya diterangi lampu minyak tanah.
BACA JUGA: Tarian Ini Ngehits Banget Tahun 1980an, Masih Ingat Gerakan Patah-Patah?
Sementara makanan yang disuguhkan sangat tradisional. Ada pisang goreng, tempe dan tahu goring. Lalu makanan agak berat ada mi instan.
Minumannya wedang jahe, kopi atau kopi susu dan teh panas. Minuman yang kemudian menjadi khas Merapi adalah wedang gedang.
Bila malam telah datang, ada yang duduk melingar di halaman Kinahrejo. Melawan hawa dingin dengan membuat api unggun di tengah lingkaran. Ada pula rombongan yang memilih Bebeng, Kaliadem sebagai tempat menikmati malam.
Sementara rombongan pendaki yang ingin menuju puncak Merapi juga bergerak menuju Puncak Garuda dari jalur selatan. (*)