PROBOSUTEDJO, pengusaha yang dermawan dan baik hati itu sudah pergi. Namun, kepergian Probosutedjo selama-lamanya meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang.
Ungkapan Herin, misalnya. Pria ini adalah mahasiswa angkatan pertama Akademi Wiraswasta Dewantara (AWD). Akademi ini didirikan Probosutedjo tanggal 10 November 1981.
“Saya beruntung bisa kuliah di sini. Waktu itu perkuliahan di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) Jalan Gatot Soebroto,” ujar Herin.
AWD merupakan cikal bakal lahirnya Universitas Mercu Buana di Jakarta. Herin masih mengingat kata-kata Probosutedjo tentang misi pendidikan Akademi Wiraswasta Dewantara.
BACA JUGA: Bertemu di Yogyakarta, Haryadi dan Gibran Bahas Derby Mataram
Misinya adalah mengembangkan model pendidikan untuk melahirkan pengusaha Pancasilais.
Probosutedjo juga berharap para lulusan AWD menjadi kader pembangunan yang mandiri. Mampu menciptakan lapangan kerja.
“Pak Probo selalu berpesan agar jangan bekerja kepada orang lain. Tapi, menjadi pengusaha. Bila sudah mampu, membuka lapangan pekerjaan,” kenang Herin, pria kelahiran Gombong, Jawa Tengah yang kini menetap di Sleman.
Kemuliaan pribadi Probosutedjo juga dirasakan Widarto, pria yang menjadi saksi keberadaan Universitas Yayasan Manggala yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Mercua Buana Yogyakarta.
“Dalam menjalani hidup, beliau menganut falsafah yang diusung Ki Hajar Dewantara,” ujar Widarto.
Probosutedjo menyatakan: Luwih apik mikul dawet rengeng-rengeng daripada numpak mobil mrebes mili.
BACA JUGA: Sosiolog UGM Sebut Perempuan Rentan Terjerat Pinjol, Ini Penyebabnya
Maknanya, lebih baik memikul atau berjualan cendol, tapi senang, daripada hidup mewah, naik mobil tetapi hati sedih karena melihat kemiskinan rakyat.
“Pak Probosutedjo tidak akan bisa tenang bila menikmati kenyamanan hidup tapi melihat orang lain menderita karena miskin,” kata Widarto.
Itulah sebabnya, Probosutedjo sangat betah tinggal di pedesaan. Pedesaan adalah tempat rakyat dengan kesederhanan sesungguhnya.
Probosutedjo akan kembali ke Jakarta dengan wajah ceria bila melihat situasi di pedesaan yang melegakan. Seperti sawah yang subur, petani cukup pupuk, lapangan kerja terbuka, dan pangan tidak berkekurangan.
Kesederhanaan Probosutedjo juga diikuti HR Notosuwito, adik kandungnya. Lalu diteruskan anak-anaknya. Mereka seperti wrangka manjing curiga, seperti sebilah keris dengan sarungnya yang benar-benar serasi.
“Tidak tergantikan karena benar-benar sempurna keterpaduannya,” kata Widarto. (aza/asa)